Oleh Dr. KRMT Roy Suryo
Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB - Mantan Anggota DPR-RI Komisi-1 2 periode (2009-2019) sekaligus Mantan Anggota Badan Legisllasi / BaLeg DPR-RI 2016-2017
TRIBUNNERS - Masyarakat pers terusik, selama ini kebebasan pers di Indonesia sudah dirasakan nyaman dan "on the track" dengan UU Pers No. 40/1999 yang ditetapkan semenjak 23/09/1999 lalu dan dirasakan sudah sesuai dengan jiwa dan semangat reformasi, mendadak ada usulan dalam Draft RUU Penyiaran baru yag sedang digodog di Komisi 1 dan BaLeg (Badan Legislasi) DPR-RI.
Ini terjadi karena beberapa pasal dalam draft RUU Penyiaran itu dinilai berpotensi memberangus kebebasan pers, misalnya ada larangan utk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi sebagaimana yg dimuat pada Pasal 50 B Ayat (2) huruf (c) RUU Penyiaran tertanggal 27 Maret lalu.
Kenapa hal diatas dipertanyakan?
Karena hal tersebut tidak sesuai dengan aturan sebelumnya yang sudah berjalan 25 tahun, UU No 40/1999 dan telah dengan sangat baik mengatur ihwal kerja & etika pers, termasuk soal kegiatan jurnalisme investigasi.
Kalau sekarang mendadak muncul usulan utk mengatur soal khusus ini (dengan KPI / Komisi Penyiaran Indonesia) bisa diprediksikan akan ada pasal2 tiitipan (baca: colongan) yg akan menghambat Kebebasan Pers selama ini tsb.
Termasuk juga Penyelesaian Sengketa Pers yg selama ini ditangani baik oleh Dewan Pers, dalam RUU ini di Psal 42 akan dilakukan oleh KPI.
Memang anehnya pada konsideran draft RUU Penyiaran tsb sama sekali tidak mencantumkan Undang-Undang Pers yg sudah ada sebelumnya, sehingga hal ini dalam sistematika Penulisan Draft RUU akan berpotensi Tumpang tindih sekaligus ketidakpastian hukum yg diaturnya. Sebagai mantan Anggota DPR-Ri di Komisi 1 yg menangani juga soal Pers dan Kominfo, bahkan sempat juga menjadi Anggota BaLeg DPR-RI selama sekitar setahun, mulai 2016-2017, saya sangat bisa memahami kejanggalan yg dirasakan oleh Insan Pers hari2 ini.
Meski asumsi tsb dibantah oleh beberapa Anggota Komisi 1 sekarang dan mereka kompak mengatakan bahwa DPR tdk memiliki maksud / tujuan utk melemahkan keberadaan pers dan masih membuka ruang kepada insan pers, masyarakat sipil dan para pegiat untuk membantu menyempurnakan revisi RUU Penyiaran tersebut, namun sekalilagi wajar bilamana masyarakat sekarang memang harus mewaspadai ketidaksinkronan antara statemen yg disampaikan sebelumnya dgn hasil akhir yg terjadi. Sebab contohnya sudah sering, misalnya dalam RUU Cilaka yg akhirnya jadi UU Ciptaker sekarang, banyak sekali terjadi ketidaksesuaiannya dalam pelaksanaan dan sangat merugikan masyarakat.
Mengapa Jurnalisme Investigasi ini menarik? Karena selain yg ada di media cetak dan online, Visualisasi tayangan jenis ini di media elektronik memang menempati posisi tersendiri bagi masyarakat. Pasca Indonesia memberi kebebasan utk Stasiun TV swasta menayangkan berita, maka sejak 1989 saat RCTI dan SCTV menyusul di tahun 1990 memiliki Program jenis ini langsung diminati masyarakat. Sejarah mencatat, banyak nama acara unggulan stasiun2 TV tsb telah akrab disanubari masyarakat, mulai dari SiGi (SCTV), BuSer (SCTV), Metro Realitas (MetroTV),Telusur (TVone), Kupas Tuntas (TV7), Berkas Kompas (KompasTV) sampai kepada Program2 yg menggunakan nama Anchornya sendiri : Aiman (KompasTV), AFD Now / Alfito Deanova (CNN), Rosi (KompasTV), Ni Luh (KompasTV), Rully Files (CNN) dsb.
Tidak jarang bahkan pembuatan liputan Jurnalisme investigatif diatas beresiko kepada Jurnalis / Reporternya, misalnya yg barusan dialami oleh salahsatu Jurnalis senior dari sebuah TV Swasta saat Pemilu 2024 kemarin. Meski sempat diproses dan berjalan kasusnya, Alhamdulillah dalam perkembangannya Pelapor kemudian mencabut Pengaduannya dan kasus tsb dihentikan penyidikannya, meski sudah sempat dilakukan beberapa kali pemanggilan kepada Sang Jurnalis bahkan penyitaan barang bukti dari Ybs meski statusnya masih sebagai Saksi. Dalam kasus tsb sebenarnya UU Pers sekalilagi sudah cukup bisa digunakan utk menjembatani bilamana terjadi ketidaksesuaian pendapat antara satu pihak dgn pihak lain.
Oleh karenanya bilamana mendatang dalam RUU Penyiaran justru akan diberikan tambahan kepada KPI utk "cawe-cawe" dalam Urusan materi Jurnalistik ini, dikhawatirkan malah bisa terjadi saling sengkarut alias tumpang tindih kepentingan dari dua lembaga yg sebenarnya sudah punya tupoksi masing2, yakni Dewan Pers dan KPI. Bisa jadi justru masalahnya tidak cepat selesai sebagaimana penyelesaian sistem Mediasi spt yg dilakukan Dewan Pers selama ini, namun berbuntut panjang karena melibatkan banyak pihak dan metode penyelesaian yg berbelit karena perbedaan mekanisme penyelesaiannya.
Memang Revisi atau Pergantian UU adalah suatu hal yg diperlukan bilamana UU eksisting dirasakan sudah tidak sesuai lagi dgn kondisi Masyarakatnya, misalnya Revisi UU ITE / Informasi dan Transaksi Elektronik No 11/2008 menjadi UU No 19/2016 dan terakhir sekarang UU No 01/2024. Sementara ada juga UU lain yg sebenarnya sudah ketinggalan jaman karena teknologinya banyak yg sudah berkembang, yakni UU Telekomunikasi No 3/1989 yg revisi terakhirnya adalah UU No 36/1999 alias sudah berusia 25 tahun dari sekarang padahal Dunia Telekomunikasi sudah sangat berkembang dibandingkan tahun awal Millenium th 2000 lalu.
Kesimpulannya, kalau UU memang sudah saatnya direvisi karena sudah tidak sesuai jamannya lagi adalah hal yg wajar dan tidak akan menimbulkan pertanyaan. Namun jika UU yg masih berjalan baik dan sesuai dgn kehidupan masyarakat mendadak ada (kepentingan ?) utk diganti atau ditambahkan hal2 yg justru menarik mundur aliaa mengekang demokrasi, tebtu hal ini pantas menjadi pertanyaan besar: Ada apa (apanya?) dibalik itu semua? Mengapa justru terkesan akhir2 ini Reformasi makin jauh dari Harapan, Demokrasi dikebiri dan malah Korupsi, Kolusi, Nepotisme makin menjadi-jadi? Siapa lagi yg bisa mengkritisi kalau Pers yg Sehat dan Bertanggungjawab malah dibungkam? Miris, benar2 Indonesia Emas 2045 akan menjadi Indonesia Cemas kalau demikian