PENDAFTARAN pasangan calon kepala daerah ke KPU tinggal beberapa hari lagi. Dinamika serta tensi politik kini sedang tinggi-tingginya. Partai politik sibuk melakukan lobi, negoisasi dan juga beradu strategi agar jagoan mereka bisa memenangi Pilkada serentak 27 November 2024 nanti.
Meski tak lagi berstatus sebagai Ibu Kota Negara lagi semenjak UU IKN Nusantara disahkan DPR pada 18 Januari 2022 lalu, Jakarta tetap menjadi episentrumnya politik. Terlebih, Anies Baswedan siap mencalonkan diri kembali sebagai Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Anies yang baru menjabat satu periode sebagai Gubernur Jakarta, tak ada kendala hukum untuk berkontestasi lagi. Banyak cibiran tentang kepantasannya sebagai mantan Capres yang kembali turun kasta karena akan jadi calon gubernur lagi, Anies bergeming.
Anies secara terbuka mengaku siap maju. Anies makin gesit. Terlebih elektabilitas Anies di berbagai lembaga survei, hampir menyentuh angka 50 persen, atau jauh melampaui nama-nama lain.
Pergerakan Anies menemui warga, menghadiri deklarasi relawan dan juga sekedar memenuhi undangan masyrakat atau hadir di keramaian publik seperti car free day, membuat kubu pengusung Prabowo Gibran makin gerah.
Terlebih PDIP yang kini menjadi pengkritik utama Jokowi, mulai membuka wacana dan peluang untuk mengusung Anies. Bisa dicatat, saat Pilpres 2024 lalu, PDIP yang biasanya paling keras menyoal Anies, waktu itu terkesan akur.
PKB yang sudah bersama Anies di Pilpres, juga sudah mengusulkan Anies meski baru di level DPP PKB Jakarta. Belum lagi Partai Nasdem dan PKS yang sudah bersama-sama Anies di Pilpres, bisa jadi penyokong utama kembali.
Dukungan untuk Anies kian terlihat solid. Namun kubu Jokowi - Prabowo yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) tak tinggal diam. Mereka berupaya keras agar kandidat yang akan diusung bisa menjadi penguasa Jakarta. Atau bagaimana caranya mengalahkan Anies.
Awalnya dimunculkan nama Ridwan Kamil, mantan Gubernur Jawa Barat. Elektabilitas Kang Emil selama ini tertinggi kedua setelah Anies. Kang Emil diyakini bisa menjadi pesaing kuat Anies. Sama-sama muda, cerdas dan familiar di kalangan muda.
Kang Emil yang tak lain pengurus teras Golkar, sebenarnya memiliki elektabilitas tertinggi di Jawa Barat. Jauh di atas Dedi Mulyadi yang lagi ngetop gegara menjadi youtuber mengulas jejak kelam kasus Vina Cirebon. Gerindra sudah memastikan akan mengusung Kang Dedi Mulyadi atau DeMul di Jabar.
Baca juga: Golkar Dukung Dedi Mulyadi Maju Pilgub Jabar, PDIP Siapkan Ono Surono
Golkar dan Ridwan Kamil yang gamang. Golkar sepertinya tak rela, rumah pemenangan sekaligus lumbung suara di Jabar diberikan begitu saja ke Gerindra
Belakangan, Golkar dan Gerindra terlihat mulai menemukan jalan keluarnya. Jargon KIM Plus digaungkan.
KIM Plus artinya, selain parpol pengusung Prabowo-Gibran di Pilpres, bisa bertambah parpol yang dulunya mengusung kandidat lain. KIM terdiri dari Partai Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PSI, PBB, Gelora dan Garuda.
KIM Plus ini rasanya tidak hanya di Jakarta. KIM Plus bisa terjadi di Jateng, Jatim. Bahkan KIM Plus ini sepertinya juga akan menjadi kuncian bagi Prabowo untuk menggandeng parpol apa saja yang masuk dalam kabinet.
Wacana KIM Plus ini mulai menunjukkan tanda-tandannya. Nasdem yang awalnya pede akan mengusung Anies di Jakarta, kini mulai berpikir untuk mencari kadidat yang tepat dan belum tentu Anies.
Begitu juga PKB yang awalnya sudah mesra dengan Anies, kini kepengurusan di tingkat pusat PKB mulai mempertimbangkan kandidat lain.
PDIP juga belum tentu mengusung Anies. Nama Ahok mulai dimunculkan. Ahok dulunya adalah rival Anies di Pilgub Jakarta, bisa menjadi peluru kemenangan jika Anies tak maju.
Tinggal PKS yang awalnya menggaungkan akan mengusung Anies. Namun syaratnya wajib kader PKS yang jadi wakil gubernur. Dan sampai hari ini, gaung PKS mengusung Anies makin terdengar samar.
Anies sebagai warga negara berhak memilih dan dipilih. Namun karena persyaratan pencalonan harus mendapat dukungan 20 persen DPRD atau 21 kursi di Jakarta, maka parpol harus berkoalisi. itu terjadi lantaran di Jakarta tak ada parpol yang miliki 21 kursi.
Karena ini adalah kontestasi politik, strategi, lobi dan negosiasi adalah alat tempurnya. Jika satu parpol tak luwes atau ada kendala tertentu untuk berkoalisi dengan parpol lain, bisa jadi Pilkada Jakarta hanya diikuti satu kandidat dari KIM Plus.
Anies meski memiliki elektabiitas tinggi di Jakarta, belum tentu bisa diusung parpol karena tak ada larangan seluruh atau sebagian besar parpol bergabung dalam satu koalisi besar.
Karena bukan pengurus Parpol, Anies punya kelebihan yakni bisa melakukan lobi dan negosiasi ke pimpinan parpol agar mau mengusung dirinya di Jakarta.
Kita tunggu kiprah dan nasib Anies apakah semanis di Jakarta dulu? Apakah KIM Plus yang dikomandoi Jokowi-Prabowo sukses mengalahkan Anies?