Benarkan Penerapan Bilingual pada Anak Jadi Penyebab Speech Delay?
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di era globalisasi ini, banyak orangtua yang menerapkan konsep bilingual atau dwi bahasa pada anak sejak dini.
Pemakaian bahasa Inggris yang sejak sangat lama menduduki posisi sebagai bahasa internasional pun seolah jadi pilihan bahasa keseharian wajib yang diterapkan.
Baca juga: Konser di Indonesia, Vokalis Coldplay Chris Martin Diajari Guru Les Bahasa Indonesia
Praisler & Gheorghiu (2021) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan baik.
Orangtua melakukan berbagai cara agar anaknya mahir berbahasa Inggris mulai dari diikutkan les, menerapan penggunaan bahasa Inggris di rumah bahkan menyekolahkan anak di sekolah internasional atau sekolah dwi bahasa.
Selain itu, anak-anak seringkali diberi tontonan berbahasa Inggris di rumah sebagai stimulasi agar mereka dapat mengenal bahasa Inggris sedini mungkin.
Langkah ini seakan memberikan rasa yakin pada orangtua bahwa semakin dini anak dipaparkan dengan suatu bahasa asing, maka semakin mudah dia menguasai bahasa tersebut.
Tentunya sebuah kebanggaan bagi orangtua jika anak mampu memiliki keahlian dua bahasa, yakni bahasa ibu, Bahasa Indonesia dan bahasa asing lainnya terutama bahasa Inggris.
Baca juga: 2 Anaknya Terlambat Bicara, Nirina Zubir Ngaku Sempat Stres hingga Kena Mental
Shofwati & Susanti (2023) menyatakan bahwa penggunaan bilingual sudah menjadi hal yang wajar dan dapat diterima oleh masyarakat luas, terutama penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua setelah bahasa ibu mereka (Bahasa Indonesia).
Selain fenomena penerapan bilingual pada anak, saat ini terdapat fenomena yang kurang menyenangkan terjadi, yaitu speech delay.
Fakta ini bisa dilihat ketika penulis berkunjung ke klinik tumbuh kembang salah satu rumah sakit di wilayah Tangerang Selatan.
Banyak anak-anak yang sedang mengantri untuk terapi wicara dan sensori integrasi.
Hikmah, Darwis & Dewi (2023), dalam sebuah jurnal kedokteran menerangkan bahwa Speech delay adalah kegagalan anak dalam mengembangkan kemampuan berbicara sesuai usia kronologisnya.
Keterlambatan bicara pada anak sendiri disebabkan oleh berbagai faktor seperti masalah pendengaran, kurangnya interaksi sosial dan stimulasi, juga seringnya terpapar oleh teknologi seperti tontonan baik melalui televisi maupun gawai pintar (gadget).
Selain faktor yang disebutkan sebelumnya, banyak yang menilai bahwa penerapan dwi bahasa pada anak juga berperan terhadap keterlambatan bicara pada anak (speech delay).
Namun, apakah benar demikian?
Dikutip dari laman halodoc, gagasan bahwa mengajarkan dua bahasa dapat menyebabkan keterlambatan bahasa atau language delay pada anak telah menjadi mitos yang telah lama menyebar di masyarakat Amerika Serikat.
Saat ini, di Indonesia juga berkembang mitos yang sama.
Penerapan konsep dwi bahasa pada anak dianggap dapat menyebabkan gangguan bicara atau keterlambatan bicara pada anak.
Namun, Santoso (2023) dikutip dari PrimaKu yang merupakan website mitra resmi dari Kementrian Kesehatan RI, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan BKKBN menyatakan bahwa anak dari keluarga bilingual memiliki perkembangan bahasa yang setara dengan anak dari keluarga non-bilingual.
Artinya, anak yang dibesarkan dalam lingkungan bilingual dan dipaparkan dua bahasa sejak dini bisa mengembangkan kemampuan bahasa sama baiknya dengan anak-anak yang dipaparkan hanya satu bahasa oleh lingkungannya.
Adapun gangguan bicara atau keterlambatan bicara pada anak bisa jadi disebabkan oleh faktor-faktor lainnya.
Sambo (2017), seorang dokter spesialis anak dalam website resmi IDAI mengatakan bahwa ada berbagai kemungkinan penyebab terlambat bicara pada anak, seperti kelainan bentuk organ penghasil suara, ganguan pendengaran, gangguan perilaku, gangguan perkembangan umum, specific language imparment, disabilitas intelektual, kurang stimulasi, masalah psikososial, maupun penyebab lainnya.
Jadi penerapan bilingual pada anak sejak dini bukanlah hal yang patut dikhawatirkan.
Namun demikian, orangtua tentunya tetap harus membuka mata agar anak-anak dapat terhindar dari speech delay.
Peran orangtua sangat vital dalam perkembangan bahasa anak karena dalam kesehariannya, anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya berinteraksi dengan orangtuanya dirumah, terutama anak di usia batita (bayi tiga tahun).
Perkembangan bahasa anak, tentunya bukan hal yang bisa didapatkan secara instan, diperlukan stimulasi dari lingkungan sekitarnya.
Meski bayi belum bisa berbicara, namun bayi yang tidak memiliki kecacatan pendengaran, kecacatan neurologis, kecacatan mental, atau kecacatan pita suara mampu memberi respon terhadap stimulasi yang orang sekitarnya berikan.
Oleh karena itu, stimulasi dari lingkungan sosial anak sangat dibutuhkan untuk mendukung perkembangan bicaranya sedini mungkin.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk memberi stimulasi bahasa pada anak mulai dari membacakan buku, mengajaknya mengobrol, merespon bayi atau anak saat dia mengeluarkan bunyi atau berbicara dengan kata kalimat sederhana atau bernyanyi.
Damayanti (2022) dalam sebuah artikel jurnal yang diterbitkan oleh Universitas Pendidikan Indonesia mengatakan bahwa kegiatan bernyanyi, bercakap-cakap, tebak kata, bermain peran, puzzle dan bercerita adalah beberapa stimulasi yang efektif dalam mengembangkan kemampuan bahasa anak.
Tentunya hal ini perlu didukung oleh pembatasan penggunaan gawai pintar (gadget) agar anak dapat focus berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Berdasarkan studi Rahayu dkk. (2021), gadget dapat menghambat perkembangan bicara dan bahasa anak.
Oleh karena itu, anak-anak perlu didampingi dan didukung agar tidak terjadi hambatan perkembangan terutama dalam hal perkembangan bahasanya.
Dari berbagai paparan di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan bilingual (dwi bahasa) pada anak bukanlah faktor penyebab keterlambatan berbicara (speech delay) pada anak.
Adapun penyebab utama keterlambatan bicara pada anak selain faktor fisiologis adalah kurangnya stimulasi bahasa dari lingkungan sekitar anak.
Walaupun ada anak bilingual yang mengalami keterlambatan bicara, maka penyebabnya bukanlah bilingual itu sendiri.
Macleod et al. (2017) menjelaskan bahwa penggunakan bilingual sejak usia dini dapat meningkatkan kosakata yang dimiliki anak dan juga tidak menghambat laju pertumbuhan kosakata anak dalam bahasa mayoritasnya.
Jadi, jangan khawatir jika ingin menerapkan konsep dwi bahasa pada anak.
Selama orangtua memberikan stimulasi bahasa yang cukup dan tetap mendampingi anak serta mampu mengevaluasi perkembangan bahasa anaknya, penerapan dwi bahasa tidak memberikan dampak negative pada anak.
Artikel ditulis Lisa Suhayati, S.S., M.Pd, Pemerhati Bahasa, Dosen Prodi Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang