News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Pilkada Serentak 2024

Revisi UU Pilkada Batal, Bagaimana Nasib Oligarki Serta Koalisinya?

Penulis: Yulis Sulistyawan
Editor: Yulis
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sejumlah mahasiswa berhasil masuk kedalam halaman gedung DPR/MPR, Jakarta Selatan, Kamis (22/8/2024). Sejumlah elemen masyarakat sipil, mulai dari buruh, komika, mahasiswa hingga aktivis menggelar aksi demonstrasi menolak pengesahan Revisi UU Pilkada. Aksi tersebut merupakan bagian dari gerakan darurat Indonesia yang viral di media sosial setelah DPR bermanuver mengabaikan putusan MK. Tribunnews/Jeprima

DPR AKHIRNYA membatalkan rencana pengesahan revisi UU Pilkada yang pada pokok isinya adalah menganulir putusan Mahkamah Konstitusi.

Pembatalan dilakukan karena jumlah anggota DPR yang hadir pada sidang paripurna tidak memenuhi kourum. Dari 575, yang hadir hanya 89 anggota DPR.

Secara bersamaan, ratusan ribu rakyat turun ke jalan menentang langkah DPR yang dianggap ugal-ugalan melawan putusan Mahkamah Konstitusi.

Tak hanya mahasiswa dan buruh yang beraksi. Puluhan guru besar yang biasanya hanya mengajar di kampus, kemarin ikut berjalan kaki dan beraksi di depan gedung DPR RI.

Ratusan tokoh masyarakat, budayawan dan pesohor yang biasanya hanya meghiasi layar televisi atau sosial media, kemarin ikut berdemonstrasi. Bahkan sebagian berorasi di atas mobil komand0 aksi berhadapan persis dengan aparat keamanan.

Kemarahan rakyat memuncak setelah menyaksikan DPR secara ugal-ugalan melawan putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.

MK sebelumnya membatalkan beberapa pasal di UU Pilkada tentang syarat ambang batas pencalonan kepala daerah. Awalnya syarat pencalonan adalah 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara menjadi maksimal 10 persen dari suara sah

MK juga mengembalikan syarat umur calon kepala daerah. Awalnya 30 tahun saat pelantikan, dikembalikan lagi menjadi 30 tahun saat pendaftaran.

Tak sampai 48 jam, Baleg DPR RI merevisi UU Pilkada. Baleg memutuskan, syarat pencalonan kepala daerah, tetap 20 persen kursi DPRD dan 25 persen perolehan suara. DPR hanya mengakomodir putusan MK, yakni partai yang tak memperoleh kursi DPRD, bisa mencalonkan dengan syarat perolehan suara maksimal 10 persen seperti putusan MK.

Syarat usia calon pun diubah lagi menjadi 30 tahun saat pelantikan. Sehingga Kaesang bisa tetap mencalonkan diri.

Hasilnya, aksi besar-besaran menentang DPR terjadi dimana-mana, tidak hanya di Jakarta. Hampir di kota-kota besar di Indonesia, terjadi aksi serupa.

Demokrasi Mundur

Aksi menentang DPR ini menggelegak lantaran masyarakat menyaksikan proses demokrasi di Indonesia berjalan mundur.

Oligarki kian mendominasi dengan menggunakan kekuasaannya untuk menekan, mengancam serta menyandera secara politik.

Secara mengejutkan, partai politik yang awalnya hendak mengajukan calon tertentu, kemudian berbelok arah bergabung dalam koalisi besar parpol tertentu.

Ada sesuatu yang membuat petinggi parpol beramai-ramai bergabung dalam koalisi besar itu.

Baca juga: Nasib Anies usai DPR Batal Sahkan Revisi UU Pilkada: PDIP Beri Syarat Khusus, Siap Nurut Megawati?

Tidak ada yang salah dengan koalisi besar seperti itu, sepanjang tidak ada tekanan, ancaman atau tawaran tertentu.

Koalisi besar parpol itu terkesan dikendalikan beberapa gelintir orang yang ingin menjadikan hasil Pilkada sesuai keinginannya. Kalau itu terjadi, oligarki yang awalnya di pusat kekuasaan, bisa mengakar ke daerah-daerah.

Sebelum MK memutuskan, koalisi besar ini menjadikan Pilkada sekedar formalitas mengesahkan kandidat yang diusungnya.

Itu terjadi lantaran kandidat dari koalisi besar menjadikan tak ada pesaing. Sehingga hanya melawan kotak kosong atau melawan kandidat boneka.

Masyarakat makin gerah dengan pertunjukan politik yang kental dengan nuansa antidemokrasi .

Demokrasi yang benar apabila seluruh proses pemilihan berjalan secara baik. Bukan diakali dan dikuasai oleh sekelompok tertentu sehingga bisa mengatur dan memunculkan calon yang tunduk kepada pengatur.

Rakyat menginginkan kompetisi pada Pilkada berjalan secara fair. Rakyat ingin agar kandidat yang berkompetisi adalah kandidat terbaik sehingga bisa memilih berdasarkan kompetensi dan juga visi-misi serta programnya.

Bukan memilih kandidat yang disukai dan ditentukan koalisi besar yang terbentuk karena parpol tak berdaya menghadapi tekanan, ancaman dari oligarki.

Beruntung Mahkamah Konsitusi sebagai lembaga penegak konstitusi dapat merasakan kegundahan masyarakat. MK kemudian membuat keputusan yang mengedepankan rasa keadilan. MK dengan kewibawaannya memutuskan dan mengembalikan UU Pilkada agar demokrasi berada di jalur yang benar.

Rakyat juga jengah menyaksikan akrobat politik yang dikendalikan oleh kepentingan tertentu.

Begitu mudahnya menggusur dan kemudian menempatkan seseorang menjadi Ketua Umum Partai.

Padahal, partai adalah salah satu pilar demokrasi, tempat menyalurkan aspirsi sekaligus menggembleng kader politik agar menjunjung tinggi demokrasi serta keadilan sosial di negeri ini.

Rakyat sudah bangkit melawan oligarki. DPR sudah angkat tangan dan membatalkan revisi UU Pilkada.

Saatnya partai politik kembali bangkit dan melawan oligarki. Jangan malah tersandera dan kemudian menjadi bagian dari oligarki.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini