News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Ketua Umum Partai Harus Bernyali Hadapi Penguasa

Editor: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Foto Ilustrasi Partai Politik.

Oleh: Dua Komunikolog Indonesia (Romansen Purba & Emrus Sihombing)

TRIBUNNERS - Dalam suatu negara yang demokratis, semua ketua umum partai harus bernyali tinggi dan kuat berhadapan dengan kekuasaan judikatif maupun eksekutif.
Dengan demikian, partai politik dan elitenya bisa/mampu melakukan pengawasan dan membuat undang-undang yang harus ditaati oleh lembaga penegak hukum dan Presiden sebagai pimpinan eksekutif. Bukan malah pecundang.

Namun, mengapa akhir-akhir ini para ketua umum, sekretaris jenderal partai dan pengurusnya seolah tidak berdaya menghadapi pengaruh kekuasaan judikatif dan eksekutif yang tampaknya hampir masuk ke seluruh aspek kehidupan, baik di politik maupun bidang kehidupan lainnya. Bahkan eksekutif seolah mendominasi kekuasaan, termasuk kekuasaan bidang penegakan hukum. Sangat ironis.

Para ketua partai yang tampaknya "dianggap" bermasalah dengan dugaan tindak pidana kasus korupsi, boleh jadi sengaja tidak diproses tetapi didiamkan dan digantung seolah tidak ada kasus. Sebaliknya, kasus lain yang melibatkan seorang sosok yang tidak patuh kepada kekuasaan seolah dikedepankan untuk diungkap.

Cara ini bisa jadi dipakai penguasa untuk menekuk lawan-lawan politiknya, ketua partai politik dibonsai, ditekuk habis-habisan membuat mereka tidak berdaya menghadapi cengkraman penguasa sehingga mau tidak mau harus tunduk dan menghamba kepada kekekuasaan. Karena itu, partai "dipaksa" mengikuti "si raja". Si "raja" itupun diakui dan disanjung oleh salah satu ketua umum partai.

Karena lawan politik sudah dilemahkan sehingga kebijakan dan keputusan apapun yang diambil penguasa, seolah-olah benar semua. Cenderung bebas melakukan apa saja pun dianggap sah, meski sudah melenceng dari cita-cita founding fathers, nilai Pancasila dan konstitusi.

Negara menjadi terkesan "kacau", terutama dalam masalah penegakan hukum. Cirinya, undang-undang dan peraturan bisa berubah dalam waktu sekejab jika itu menguntungkan kekuasaan. Tidak perduli apakah itu bertentangan dengan ideologi dan konstitusi negara.

Bahkan dengan cara "cerdas," kalau tidak mau disebut licik, dibangun narasi dengan memanfaatkan sejumlah (sedikit) akademisi "murahan" sehingga kebijakan, peraturan dan undang-undang seolah berpihak ke rakyat.

Padahal, kenyataannya tidak demikian. Berpihak kepada keinginan penguasa. Salah satu narasi yang dibangun, kalau tidak suka jangan pilih. Tentu narasi semacam dapat memanipulasi persepsi publik dan mematikan daya kritis berpikir dari rakyat. Sangat menyedihkan.

Demikian juga fungsi legislatif, tampaknya bukan lagi sebagai dewan perwakilan rakyat tetapi bisa jadi berubah menjadi dewan perwakilan penguasa, tunduk kepada keinginan penguasa. Lebih dalam lagi, berubah menjadi alat stempel kekuasaan daripada eksekutif/pemerintah.

Di samping itu, penguasa sering bersilat lidah sebagai tindakan pembenaran, walaupun secara kasat mata untuk meloloskan hasrat politik kekuasaan keluarga, anak-anak, mantu dan kroninya. Aturan dan hukum dibuat untuk menguntungkan pihak penguasa dan kelompoknya. Dari sini saja tercermin dan dapat dilihat bahwa penguasa itu sedang membangun dinastinya.

Untuk tujuan membangun dinasti dimunculkan narasi secara terstruktur, masif dan sistematis dengan pengkhultusan, seolah-olah keberhasilan pembangunan ini karena keberanian dan kemampuan pimpinan tertinggi eksekutif untuk mengeksekusinya, padahal itu klaim sepihak dari dari mereka yang mendompleng kekuasaan.

Masalah ada tidaknya pembangunan tentu dari sudut pandang mana melihatnya. Bisa saja pembangunan itu produk kinerja negara tetapi ditopang utang yang terus bertambah. Padahal, adanya pembangunan itu sudah menjadi tugas seorang pemimpin. Sebab itulah gunanya perlu pemilihan umum yang sangat-sangat demokratis. Jadi, dengan mengedepankan demokratis substansial, bukan demokrasi seolah-olah yang penuh kepalsuan.

Salam,

Romansen Purba dan Emrus Sihombing

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini