Oleh : Pastor Yosafat Ivo OFMCap, Ketua Komisi Kerawam Keuskupan Agung Medan
DULU bangsa kita terkenal karena sikap kekerabatan dan gotong royong yang dimiliki oleh segenap rakyat Indonesia. Kini gelar kebanggaan itu sirna seiring dengan munculnya statement negatif “Indonesia identik dengan bencana alam, kekerasan, penutupan rumah ibadat dan teroris.”
Berbicara tentang bencana alam, kita tidak kuasa dan berhak mempersalahkan siapapun kendati kita menganalisa bencana alam yang mana?
Kalau banjir, longsor, itu merupakan keserakahan manusia yang tidak memelihara alamnya dengan baik dan bijak. Namun bencana alam yang lain, Tsunami, gempa bumi kita hanya mampu merenung dan bernyata, mengapa? Bagaimana tentang masalah sosial lain seperti: teror bom (teroris), sikap menyegel merusak dan membakar rumah ibadat, demonstrasi yang tidak terkendali?
Mengapa di negara kita, semakin sering terjadi masalah sosial yang bertentangan dengan semangat dan nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945?
Sosial ekonomi
Pantas di kedepankan kesenjangan sosial ekonomi yang semakin nyata di Negara kita. Benar bahwa pemerintahan sekarang berhasil mengurangi jumlah kemiskinan dan sukses menaikkan pertumbuhan ekonomi menjadi kisaran tiga atau empat persen, tetapi “kualitas’ kemiskinan semakin nyata.
Misalnya, benar bahwa pemerintah mampu mengurangi jumlah penduduk yang miskin menjadi 31 juta orang, tetapi kualitas kemiskinan yang 31 juta itu semakin memprihatinkan.
Apa hubungan kemiskinan dengan masalah sosial? Kemiskinan adalah titik berangkat yang menjerumuskan kualitas manusia semakin merosot. Orang miskin jelas tidak akan mampu mengecap pendidikan yang bermutu namun sangat mahal. Kalau tidak ada pendidikan, kerangka dan pola pikir masyarakat sangat rendah.
Baca juga: Prabowo Diharapkan Lanjutkan Diplomasi Internasional Jokowi Suarakan Perdamaian dan Misi Kemanusiaan
Hal ini berakibat kesadaran akan pentingnya nilai hidup sangat miskin. Konsekwensi utamanya ialah mereka yang miskin gampang dieksploitasi oleh mereka yang kaya dan bahkan berpendidikan.
Mereka yang miskin gampang diperalat dan direkrut dengan tujuan yang tidak baik, seperti, merampok, membunuh, bom bunuh diri, dan tindakan anarkis lainnya, dengan imingan bayaran seadanya. Intinya gampang dihasut dan dibayar.
Katherine van Wormer dalam bukunya Social Welfare and Social Work mengatakan, “Gap antara orang kaya dan miskin semakin menganga di belahan dunia ketiga atau negara yang sedang berkembang. Ini menjadi salah satu akar dari masalah sosial yang terjadi di negara yang sedang berekembang, termasuk Indonesia.
Pudarnya wibawa dan pengaruh pemimpin agama.
Pemimpin agama sangat berperan meciptakan suasana yang kondusif di negara kita. Saya masih percaya bahwa semua pemimpin agama masih setia menanamkan nilai luhur dan semangat kasih dari setiap agamanya.
Dengan kata lain, semua agama mengajarkan nilai dan konsep yang kurang lebih seirama tentang perdamaian. Namun perlu kita kritisi, apakah mereka tetap mengkontrol hidup umatnya dalam hidup konkret? Apakah pemimpin agama pernah memberi suatu analisa dan kajian sosial-ilmiah mengapa umatnya gampang tersulut emosi bila melihat orang lain yang berbeda agama dengan mereka? Maka, apa sebenarnya tujuan manusia hidup beragama?
Sigmund Freud melihat bahwa agama itu sebenarnya adalah reaksi manusia atas ketakutannya sendiri. Manusia itu pada umumnya takut mati, takut bencana alam, takut kehilangan pekerjaannya, dan puluhan macam-macam rasa takut lainnya, tetapi di lain pihak kita tidak bisa menghilangkan rasa takut tersebut secara begitu saja. Oleh sebab itulah dalam ketidak berdayaannya menghadapi perasaan takut ini, manusia menciptakan agama agar bisa mendapatkan rasa aman seperti yang diharapkannya.
Maka Sigmun Freud mengatakan bahwa agama adalah racun untuk umatnya. Kalau agama hanya mengajarkan umat dan memberi doktrin kaku yang membuat mereka takut, cemas, gelisah akan masa depannya, maka peran agama itu tidak maksimal.
Umat masih tinggal dalam penghayatan semu. Peran yang diharapkan ialah memberi kepercayaan yang tinggi kepada umat, mengekspressikan imannya dalam kerangka kebersamaan dengan umat lain. Tekanannya ialah keterbukaan dan bukan sebaliknya menutup diri. Pemimpin agamanya harus menanamkan nilai kepada umatnya untuk setia kepada apa yang mereka imani, dan bukan supaya mereka menjadi fanatik buta. Harapan kita, statement Sigmund Freud ini tidak benar sama sekali.
Kita kehilangan tokoh spiritual yang berkarisma
Siapa yang tidak kenal dengan Gus Dur yang kental dengan buah-buah pemikirannya, walau kadang sering bernada banyolan? Siapa yang tidak bangga dengan Romo Mangun yang menyatu dengan mereka yang miskin tanpa melihat agamanya?
Kedua tokoh ini bagaikan dua sejoli yang membangun manusia yang sungguh beradab, berdedikasi tinggi dalam jenjang sosial dan paling membanggakan memberi buah-buah pemikiran yang mengajak orang untuk semakin beragama. Kita kehilangan kedua tokoh yang berkarisma bagi banyak orang dan bagi agama.
Banyaknya organisasi masyarakat dan yang bernuansa agama.
Semakin maraknya organisasi yang berbau agama dan berlabel masyarakat adalah indikasi bahwa pemerintah gagal menciptakan lapangan kerja. Banyak orang muda masuk organisasi dengan tujuan yang tidak jelas. Konsekwensinya ialah gesekan yang terjadi antara organisasi, dan doktrin liar yang terjadi di intern organisasi itu yang merecoki pikiran, mental dari anggotanya. Dan anehnya, pemerintah sering berencana mau menertibkan, membredel organisasi yang membandel tetapi itu hanya slogan dan di media massa saja, namun tindakan nyata tidak ada.
Pemerintah yang terkesan tidak tegas dan seolah membiarkan.
Biasanya kalau terjadi issu sosial, misalnya terror bom yang terjadi di beberapa daerah dan pemerintah mengatakan bahwa tidak ada kaitan antara teror itu dengan agama. Teror itu adalah masalah teroris?
Mengapa? Pemerintah tidak mau label Indonesia sebagai negara religius pudar di mata dunia? Bukankah Indonesia sangat bangga dengan gelar ini? Maka paus pun bangga dengan “KEHARMONISAN” antar umat beramaga? Benarkah demikian halnya? Kalau itu bukan berkaitan dengan agama mengapa sering Gereja menjadi sasaran?
Pemerintah memang selalu memoles sebuah lisptik dengan mengatakan itu adalah ulah teroris dengan tujuan dunia mendukung, karena memang dunia sekarang memerangi terorisme? Menarik simpatik itu memang penting, tetapi laporan yang sesuai dengan fakta dan kajian yang berdasarkan bukti yang akurat dan sahih lebih penting.
Selain itu pemerintah beserta jajarannya sibuk dan asyik mengurus diri sendiri dan fokus dengan masalah internal partainya. Kapan mengurus rakyat? Bahkan, masalah korupsi mulai dari tingkat atas sampai ke bawah belum tuntas, seperti mission impossible.
Barangkali masyarakat, atau pemerintah kita lupa tentang hak azasi manusia: bebas berekspressi, bebas memeluk suatu agama dan ini didukung oleh UUD 1945 pasal 29, bebas dari rasa takut, dst. Pemerintah belum konsisten menegakkan kebebasan ini dan melindungi yang minoritas, maka adalah suatu keanehan kalau mendirikan suatu tempat ibadat pun sering menjadi masalah dan dipersoalkan karena pemikiran masih tinggal dalam tatanan persaingan yang tidak sehat, ketakutan kehilangan umat, atau alasan rasional lain yang dibuat-buat??
Dunia memerangi Teroris dan Menciptakan Damai (Sebuah Solusi).
Teroris dari kata dasar teror bukan hanya merujuk ke teror bom tetapi juga teror terhadap, seseorang, kelompok tertentu, organisasi tertentu dan agama tertentu.
John Ibister menguraikan dalam bukunya Promises Not Kept; Poverty and the Betrayal of Third World Development, USA adalah salah satu Negara yang sangat getol memerangi teroris ini sampai ke-akar-akarnya karena itu USA menghabiskan dana yang tidak sedikit untuk misi yang mereka yakini ini luhur dan mulia karena berazaskan kemanusiaan. Ini berangkat dari pengalaman kelam yang menimpa Amerika, dimana simbol-simbol penting mereka telah dihancurkan oleh teroris lewat tindakan “heroic konyol” dengan menabrakkan pesawat komersil Amerika (dibajak) ke Twin Tower dan Pentagon yang menewaskan ribuan orang. Itu menjadi titik balik USA bangkit berperang melawan teroris bahkan mengejarnya sampai ke Pakistan dan Afganistan. Sejauh ini mereka telah berhasil dengan membunuh pemimpin tertinggi teroris Osama bin Laden beberapa tahun yang lalu di Pakistan, lewat operas “misteri”
Konkritisasi Perwujudan Damai
Menurut Lester R Kutz dan Jennifer Turpin, kebijakan publik dalam upaya menciptakan perdamaian terbagi dalam tiga pola, yaitu:
Pola pertama, perdamaian dengan kekerasan yaitu pendekatan yang menekankan pada penggunaan kekuatan senjata terhadap individu atau negara yang dipandang melanggar hukum.
Ada beberapa asumsi yang melatarbelakangi pola pertama ini. Pertama, satu-satunya cara menghentikan kekerasan adalah dengan kekerasan yang lebih tinggi. Kedua, bahwa dunia dihuni oleh banyak orang jahat atau agresor. Satu-satunya bahasa yang dipahami para penjahat itu adalah kekuatan. Dengan kata lain, tidak ada gunanya mencoba bermusyawarah dengan mereka.
Inilah yang diterapkan oleh aparat keamanan berhadapan dengan kelompok teroris saat ini. Sekarang yang digunakan ialah tindakan kekerasan walau pasti sebelumnya sudah ada proses. Efek negatif dari tindakan ini ialah pihak lawan akan meningkatkan perlawanan sehingga suatu saat mereka bisa saja mengambil tindakan balas dendam.
Pola kedua adalah kontrol hukum, yaitu pendekatan yang menekankan pada prosedur hukum termasuk memberikan batasan-batasan sekitar penggunaan kekerasan. Pola kedua ini bertujuan menghentikan kekerasan dengan kemajuan dan prosedur hukum yang dirancang demi adanya tatanan rasional. Pola yang kedua ini akan berjalan baik kalau semua taat hukum. Penegak hukum menegakkan hukum itu dengan adil tanpa tebang pilih.
Dalam Kompas cetak Jumat 28 February 2014 dikatakan, “Percuma tegakkan hukum tanpa hadirkan kebaikan, perjuangan kita bukan sekadar untuk memerangi segala keburukan seperti : korupsi, kolusi, kebodohan, kemiskinan, saling menzalimi, dan mengumbar amuk sengsara” Saya pahami ini sebagai ungkapan bahwa penegakan hukum bukanlah keterpaksaan, namun karena kesadaran. Kesadaran itulah yang akan membawa setiap orang kepada kesadaran akan nilai dari hukum itu. Hukum menjadi wadah untuk menciptakan perdamaian dan mempersatukan semua pihak dari semua golongan.
Pola ketiga keamanan bersama, yaitu pendekatan yang menekankan pada teknik-teknik menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Pola ini dianut oleh agama-agama. Saya yakin semua agama mengedepankan cara damai untuk mencari solusi dari setiap permasalahan. Tindakan kekerasan apalagi perang bukanlah solusi terbaik.
Dari ketiga pola di atas, pola penyelesaian dengan kekerasan merupakan cara yang telah banyak ditinggalkan karena sudah tidak sesuai peradaban. Sedangkan, kedua pola terakhir, terutama pola keamanan bersama yang tiada lain pola penyelesaian tanpa kekerasan, merupakan pendekatan yang sedang populer karena dipandang lebih manusiawi, sesuai dengan tuntutan penghormatan terhadap HAM dan hak-hak sipil. Pola penyelesaian tanpa kekerasan ini sudah mendapatkan pengakuan dunia di satu sisi dan pola penyelesaian dengan kekerasan sudah mulai ditinggalkan.
Peran Tokoh Penting
Pemerintah kita selalu mengatakan berantas teroris sampai ke akar-akarnya. Mudah-mudahan semboyan ini tetap bergema, bukan hanya selepas sebuah peristiwa teror terjadi. Gerakan melawan teroris harus sampai ke akarnya karena sudah mempunya sel yang kuat. Teroris ini menjadi momok bagi masyarakat yang cinta akan perdamaian dan ketentraman. Maka sekali lagi pemerintah harus bersikap tegas terhadap organisasi radikal yang sering bertindak atas nama agama. Jangan ada lagi kesan pemerintah diam dan takut. Pemerintah harus melindungi semua masyarakat tanpa terkcecuali.
Peran dari pemimpin agama juga sangat penting. Tokoh agama adalah partner pemerintah dalam memelihara perdamaian. Dalam sisi tertentu pemimpin agama bahkan lebih berkuasa “memaksa” umatnya mentaati hukum, baik hukum sipil maupun hukum rohani. Mereka mengajak umat secara terus-menerus hidup penuh persaudaraan dengan penganut agama lain.
Hal lain yang penting ialah taat hukum. St. Thomas Aquinas mengatakan, untuk menciptakan rasa damai dan adil, semua orang harus mentaati hukum, namun si pembuat hukum harus lebih taat hukum. Sedangkan Agustinus dari Hippo menegaskan harus ada keseimbangan hal rohani dan jasmani. Intinya, kaya rohani dan juga kaya jasmani adalah jalan berimbang untuk memerangi kemiskinan dan membangun pendidikan yang berkualitas.
Penutup
Membangun budaya damai ibarat mengangkat taplak meja. Agar taplak meja itu tetap rata saat diangkat maka setiap sudut atau sisi harus diangkat serentak. Itu menunjukkan kerja sama dari setiap pihak. Membangun budaya damai sama halnya.
Semua harus berperan. Karena itu baik pemerintah maupun tokoh agama harus bekerjasama. Kedua pilar penting ini harus memberi pendidikan dan ajakan bagi semua masyarakat dan umat beragama.
Maka, negara dan Agama harus bahu membahu membangun kesadaran masyarakat untuk memelihara perdamaian dan ketentramana dengan sikap saling menghargai dan menerima perbedaan, bersama memerangi terorisme dan upaya memecah belah