Oleh: Agus Salim Dg Ngago
Dosen Universitas Pepabri, Sekretaris Partai Kebangkitan Bangsa Kabupaten Gowa
DALAM sejarah peradaban Islam, isu mengenai peran perempuan dalam pemerintahan sering kali menjadi perbincangan yang cukup kompleks.
Secara umum, Islam memberikan kedudukan yang terhormat kepada perempuan dan memberikan hak-hak yang setara dengan laki-laki dalam banyak aspek kehidupan, termasuk dalam hal kepemimpinan.
Meski begitu, pandangan ulama dan interpretasi terhadap teks-teks Islam mengenai peran perempuan dalam pemerintahan memiliki variasi dan sering kali dipengaruhi oleh konteks budaya dan sosial masing-masing masyarakat.
Dasar Al-Quran dan Hadis tentang Kepemimpinan Perempuan
Dalam Islam, kepemimpinan di dalam masyarakat dilandaskan pada prinsip keadilan, kemampuan, serta kapasitas seseorang dalam mengemban amanah.
Di dalam Al-Quran, tidak ada ayat yang secara eksplisit melarang perempuan untuk berperan dalam pemerintahan atau kepemimpinan politik. Bahkan dalam beberapa ayat, Al-Quran mencatat contoh pemimpin perempuan, salah satunya adalah Ratu Balqis yang memimpin kerajaan Saba.
Ayat-ayat dalam Surat An-Naml (27:22-44) menggambarkan kepemimpinan Ratu Balqis yang adil, bijaksana, dan cerdas dalam mengelola kerajaannya.
Dalam kisah ini, Al-Quran tidak mencela kepemimpinannya karena ia perempuan, melainkan justru menggambarkan kualitas-kualitas positif yang ia miliki sebagai seorang pemimpin.
Beberapa hadis yang dijadikan dasar oleh sebagian ulama untuk membatasi perempuan dalam kepemimpinan, misalnya sabda Nabi Muhammad SAW yang mengatakan, "Tidak akan beruntung suatu kaum jika mereka mengangkat perempuan sebagai pemimpin mereka."
Namun, banyak ulama kontemporer menginterpretasikan hadis ini sebagai konteks tertentu yang berlaku pada saat itu, bukan sebagai larangan mutlak.
Pandangan Ulama tentang Kepemimpinan Perempuan
1. Ulama Tradisionalis
Ulama tradisionalis cenderung berpendapat bahwa posisi kepemimpinan, terutama yang menyangkut kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara, lebih diutamakan bagi laki-laki.
Mereka berargumen bahwa tanggung jawab besar dalam memimpin suatu umat atau bangsa memerlukan ketegasan, kekuatan fisik, dan kemampuan yang biasanya lebih dimiliki oleh laki-laki. Selain itu, mereka menggunakan beberapa hadis dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran untuk mendukung pandangan bahwa pemimpin dalam masyarakat sebaiknya adalah laki-laki.
2. Ulama Moderat dan Kontemporer
Ulama yang berpandangan moderat dan kontemporer umumnya melihat bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam hal kepemimpinan, selama mereka memiliki kemampuan dan memenuhi syarat-syarat sebagai pemimpin.
Dalam pandangan mereka, Islam tidak membedakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan untuk memimpin, asalkan seorang perempuan mampu memikul tanggung jawab tersebut dengan baik.
Mereka juga menunjukkan bahwa perempuan dapat berperan dalam berbagai bidang pemerintahan atau politik sebagai menteri, anggota parlemen, atau pejabat negara lainnya.
Ulama kontemporer juga menyoroti contoh dari sejarah Islam seperti Aisyah r.a., yang memainkan peran penting dalam urusan politik dan sosial pada masa awal Islam.
Meskipun Aisyah r.a. tidak secara langsung memimpin negara, peran dan pengaruhnya dalam masyarakat sangat signifikan, bahkan pada masa-masa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Prinsip Kepemimpinan dalam Islam
Islam menekankan kualitas moral dan kemampuan sebagai kriteria utama dalam memilih pemimpin, baik laki-laki maupun perempuan. Prinsip kepemimpinan dalam Islam meliputi keadilan, ketakwaan, amanah, dan kemampuan dalam mengelola urusan rakyat. Apabila seorang perempuan memenuhi kriteria-kriteria ini, maka tidak ada alasan untuk melarangnya memimpin.
Di berbagai negara Islam saat ini, perempuan sudah menduduki posisi penting dalam pemerintahan.
Di beberapa negara mayoritas Muslim, perempuan telah terpilih menjadi kepala negara, seperti di Bangladesh, Pakistan, Indonesia, dan Turki. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Muslim modern semakin menerima dan mengakui peran perempuan dalam kepemimpinan politik.
Kesimpulan
Islam memberikan peluang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan kepemimpinan, selama mereka memiliki kualitas dan kemampuan yang diperlukan.
Pandangan ulama tentang peran perempuan dalam pemerintahan bervariasi, tetapi pada intinya, kualifikasi dan nilai-nilai Islami tetap menjadi dasar utama.
Islam menghormati kedudukan perempuan dan memberikan mereka hak untuk berkontribusi dalam masyarakat, termasuk dalam pemerintahan, selama mereka mampu menjalankan tugas-tugas tersebut dengan baik dan bertanggung jawab.
Dengan demikian, dalam konteks modern, peran perempuan dalam pemerintahan bukanlah hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, asalkan didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, amanah, dan kemampuan yang mendukung kesejahteraan masyarakat.