Oleh: Apt. Ismail
Presidium Nasional Farmasis Indonesia Bersatu
TRIBUNNEWS.COM - Ketika resistensi antibiotik melonjak bak api liar, kampanye di Indonesia tampaknya sederhana.
Salahkan apotek! Sungguh brilian, bukan?
Mari abaikan kenyataan bahwa antibiotik juga bisa diperoleh dan dibeli tempat-tempat liar dan ilegal seperti toko obat, pasar, warung, praktik tenaga medis dan kesehatan bahkan online dengan mudah.
Apotek resmi, tempat yang seharusnya menjadi benteng distribusi obat yang aman, malah dijadikan kambing hitam.
Ya, menyalahkan apotek lebih mudah daripada mengakui bahwa sistem dan regulasi penuh dengan celah.
Belanda: Negeri Regulasi, Bukan Ilusi
Di Belanda, antibiotik tidak bisa diperoleh sembarangan.
Regulasi mereka ketat, antibiotik hanya tersedia di Apotheek dan harus divalidasi apotheker.
Tidak ada antibiotik di tempat liar dan ilegal, tidak ada penjualan bebas di internet. Setiap jalur distribusi dipantau dengan cermat.
Yang paling menarik adalah peran apotheker di Belanda.
Di sana, apotheker tidak hanya menjadi penjaga Apotheek, tetapi juga penjaga akal sehat.
Mereka memiliki otoritas untuk memastikan penggunaan antibiotik yang rasional, berbasis bukti, seperti uji kultur atau antibiogram.
Hasilnya? Data terbaru menunjukkan bahwa resistensi antimikroba di Belanda tetap stabil selama beberapa tahun terakhir, dengan penurunan pada beberapa jenis bakteri tertentu.
Selain itu, penggunaan antibiotik di sektor kesehatan manusia dan hewan telah menurun signifikan, misalnya penjualan antibiotik untuk hewan ternak turun lebih dari 70 persen dibandingkan tahun 2009.
Ini adalah bukti keberhasilan regulasi dan praktik yang diterapkan.
Selain itu, Belanda aktif dalam kolaborasi internasional untuk memerangi resistensi antimikroba.
Dengan pendekatan “One Health” yang mencakup sektor kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan, mereka menunjukkan bahwa keberhasilan pengendalian AMR membutuhkan upaya lintas sektor dan lintas negara.
Indonesia: Resep Wajib, Kebijakan hiasan.
Di sisi lain, mari kita lihat Indonesia. Resep antibiotik diwajibkan, tapi siapa yang peduli?.
1. Resep diwajibkan tapi nyaris tak ada resep yang masuk ke apotek-apotek komunitas, lalu dengan mudah menyalahkan Apotek bahkan mengancam menutupnya.
Apakah ada kaitan dengan Peribahasa, Buruk Muka Cermin Dibelah?
Kemudian Apotek diposisikan Bagai Pungguk Merindukan Bulan?, menunggu resep yang tak kunjung datang.
2. Antibiotik Bebas Dijual: Dimanapun yang mungkin, anda bisa memperoleh antibiotik tanpa harus berurusan dengan apoteker.
Mengapa repot ke apotek resmi kalau alternatifnya begitu banyak? Siapa yang bertanggung jawab memantau dan mengawasi jalur distribusi?
3. Apoteker, Si Pelengkap Administrasi: Apoteker Indonesia disumpah untuk profesionalisme, tetapi oleh regulasi hanya dijadikan stempel berjalan.
Tidak ada ruang kewenangan bagi mereka untuk benar-benar memastikan penggunaan antibiotik yang aman. Siapa yang membuat regulasinya?
4. Kurang bahkan tidak Ada Infrastruktur Diagnostik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan: Uji kultur? Antibiogram? Lupakan saja.
Dengan fasilitas diagnostik yang minim, dokter dan apoteker dipaksa menebak-nebak dalam memberikan antibiotik.
Solusi: Membangun Sistem, Bukan Mencari Kambing Hitam
Jika Indonesia benar-benar serius ingin mengendalikan resistensi antimikroba, tirulah Belanda dan penuhi rekomendasi WHO.
Berikut ini adalah saran langkah-langkah yang dapat diambil berdasarkan praktik terbaik dan pembaruan terkini dari Belanda:
1. Regulasi yang Serius, Bukan Main-Mainan
Mulailah dengan menutup semua jalur distribusi antibiotik ilegal. Tidak ada lagi tempat liar dan ilegal atau penjualan online bebas.
Wajibkan penulisan resep Antibiotik yang valid dan benar, tak boleh ada penyerahan langsung antibiotik ataupun resep formalitas. Regulasi harus diterapkan tanpa pandang bulu.
2. Peran Apoteker sebagai Penjaga Utama
Berdayakan apoteker untuk memeriksa dan memvalidasi resep antibiotik. Mereka harus memiliki otoritas untuk menolak resep yang tidak rasional.
Apoteker adalah Tenaga Kesehatan Profesional dalam bidang Kefarmasian, mereka adalah penjaga kesehatan masyarakat.
3. Fasilitas Diagnostik yang Memadai
Pastikan semua fasilitas pelayanan kesehatan memiliki fasilitas tes diagnostik misalnya alat uji kultur dan antibiogram.
Dengan ini, pemberian antibiotik dapat berbasis bukti, bukan sekadar dugaan dan tebakan.
4. Pengendalian Antibiotik di Sektor Hewan
Seperti di Belanda, kurangi penggunaan antibiotik untuk hewan ternak secara signifikan.
Ini tidak hanya membantu mengendalikan resistensi, tetapi juga melindungi rantai makanan manusia.
5. Edukasi Publik yang Konsisten
Masyarakat harus dibuat sadar bahwa antibiotik bukan obat segala penyakit. Kampanye edukasi harus berjalan terus-menerus, bukan hanya saat ada hari peringatan tertentu.
Dengan kesadaran yang tinggi, penggunaan antibiotik yang tidak rasional dapat diminimalisir.
Kesimpulan: Indonesia Perlu Kebijakan "Yang Jujur dan Cerdas"
Belanda membangun sistem yang menempatkan Antibiotik hanya boleh berada di Apotheek, menghargai peran apotheker dan memastikan antibiotik digunakan dengan benar.
Di Indonesia, Apotek resmi terus disalahkan padahal sistem distribusi antibiotik dan obat lainnya memang masih kacau dan semrawut.
Mungkin sudah saatnya berhenti mencari kambing hitam dan mulai menciptakan sistem yang benar-benar efektif melalui regulasi yang jujur dan cerdas juga kolaborasi yang nyata.