Laporan Reporter Tribunnews Video, Padhang Pranoto
TRIBUNNEWS.COM, SALATIGA - Melihat sosok Eka Yuli Andini (19) sekilas lalu, tak nampak sama sekali bahwa ia anggota Polresta Salatiga. Apalagi, ketika dirinya tak mengenakan atribut kepolisian.
Mengunjungi bengkel sekaligus rumah milik orang tuanya di Jalan Veteran RT 2/10 Mangunsari, Kota Salatiga, Jawa Tengah, Rabu (25/2/2015), Bripda Eka Yuli Andini terlihat mengenakan kaus dan bercelana pendek.
Sesekali, dirinya terlihat sibuk, menggantikan peran sebagai penambal ban ketika kini sang ayah sedang terbaring sakit.
Tambal ban bukan sesuatu yang baru bagi Eka. Menurutnya keterampilan itu didapatkan lantaran sering melihat dan membantu sang ayah semenjak ia masih sekolah.
"Sudah biasa, awalnya melihat ayah menambal ban. Lalu bantu-bantu, akhirnya hingga kini bisa mengerjakan keterampilan ini," ujarnya.
Kebiasaan itu pun berlanjut hingga ia lulus Sekolah Calon Bintara (Secaba) di Ambarawa.
Meskipun kini telah berpangkat Brigadir Polisi Dua (Bripda), Eka tak ragu berkotor-kotor dengan kegiatan tambal ban. Bahkan ketika sang ayah kini sakit, ia tak segan mengambil alih usaha tambal ban yang diberi nama "Bonsa" itu.
Menurut Eka, selepas melaksanakan tugas di Polresta, ia kerap melayani pelanggan di bengkelnya. Mulai dari isi angin hingga tambal ban. Namun demikian, ia mengaku belum begitu mahir menambal ban sepeda motor.
"Kalau menambal ban sepeda motor sebenarnya saya tak begitu bisa. Soalnya sulit untuk melepaskan dari velg. Saya hanya bantu untuk memanaskan tambalan. Namun kalau sepeda kayuh, saya bisa menambalnya. Mulai dari copot hingga pasang lagi," terangnya.
Sementara itu bila ada pelanggan yang menginginkan tambal ban, ia oper kepada penambal lain yang ada di sekitarnya. Sedangkan untuk kegiatan isi angin masih ia lakukan sendiri.
"Dulu ketika ayah belum sakit, saya bantu nambal dengan memanaskan ban yang telah diberi penambal instan (tip-top). Lalu setelahnya baru dipasang ke motor oleh ayah. Sekarang karena ayah sakit, saya jadi sering ngoper pekerjaan ke tempat lain. Namun kalau terpaksa sekali, saya akan membantu. Tapi kalau cuma untuk ngisi angin dan tambal ban sepeda kayuh saya bisa mengatasi," tutur gadis itu.
Gadis berperawakan tinggi 156 cm dan berat 48 kg ini sempat dilarang oleh sang ibu, ketika akan mendaftar menjadi Polwan. Ekonomi menjadi alasannya. Dengan keuangan keluarga yang cekak, Darwanti (40), sang ibu, was-was kalau mendaftar polisi harus mengeluarkan kocek yang besar.
Namun, Eka terus saja meyakinkan sang ibu. Dirinya menyebut, bahwa pendaftaran polisi tak perlu membayar.