Laporan wartawan Banjarmasin Post, Hanani
TRIBUNNEWS.COM, BARABAI - Duduk bersimpuh, kedua tangannya memainkan dua tokoh wayang. Sementara kaki kanan menekan alat serutan kelapa yang ditempel di kotak wayang, sebagai pengganti alat ketuk saat melafalkan dialog.
Bayu Maulana (13), dalang cilik dari Desa Haliau, Batubenawa, Kabupaten Hulu Sungai Tengah ini, punya kreatifitas yang patut diapresiasi.
Cita-citanya menjadi dalang, ia realisasikan sendiri. Mulai dari membuat wayang dari kertas bekas kalender, hingga alat serut kelapa.
Bayu mengaku sudah hapal nama maupun karakter wayang-wayang yang dimilikinya seperti, Durda, Samar, Nalagaring, Santiaki dan Fatmanagara.
Makanya, Bayu memberanikan diri membentuk grup kesenian wayang. Ia mengajak empat temannya sebagai pemain musik tradisional, untuk mengiringi pertujukannya.
Bayu, siswa kelas 1 SMP ini memang bocah kreatif. Ia bersama teman-temannya mengadakan pertunjukan wayang. Rahmatullah Hidayat (13) dan Khairun Akbat (13) sebagai pemain sarun, M Ramadhani (13) pemain gong, serta Andi Salam (11) pemain babun.
Meski dengan peralatan seadanya, Bayu dan kawan-kawan tak jarang mendapat undangan pertujukan di malam pesta pernikahan.
“Sekali pertunjukan dibayar Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu,”kata Bayu didampingi ibunya Fitri, saat ditemui BPost di rumah sederhananya, di Desa Haliau.
Padahal, peralatan musik seperti sarun dan gong, yang tersimpan di dalam karung bekas pupuk milik Bayu, tak bisa digunakan lagi. Makanya, ia dan kawan-kawannya menggunakan alat seadanya. Galon air mineral, botol kaca, sendok, serta serutan kelapa sebagai gantinya. Sementara, kain putih lusuh dijadikan layar pertunjukan.
Dia mengatakan tertarik menjadi dalang, karena sering diajak ayahnya menonton pertunjukkan wayang yang dimainkan dalang Diman dari Pantai Hambawang, Kecamatan Labuanamas Selatan.
Mengapa tertarik menjadi dalang? Bayu geleng kepala. Namun, motivasinya untuk memainkan wayang begitu tinggi.
Sampai-sampai, saat orangtuanya belum punya uang untuk membeli wayang kulit standar, Bayu membuatnya sendiri. “Modelnya melihat di hape (handphone) yang difotokan ayah,” tuturnya.
Kini Bayu sudah memiliki wayang kulit dari hasil gadai. Namun, Bayu dan kawan-kawan belum memiliki kostum untuk mendukung penampilannya saat pertunjukkan.
Adapun lakon yang sering dia bawakan, ‘Mambangun Banua’. Menariknya, Bayu mengaku tak pernah membaca atau membuat naskah tersebut. Tapi, cerita mengalir sendiri, sesuai imajinasinya.
“Alhamdulillah banyak penontonnya. Banyak yang tepuk tangan saat kami main,” akunya.
Ibu Bayu, Fitri mengatakan, bakat seni anaknya itu benar-benar otodidak. Sebagai orangtua, ia mendukung hobi dan kecintaan Bayu terhadap kesenian wayang.
“Sebenarnya dia bercita-cita mau jadi tentara. Memainkan wayang hanya hobi. Entahlah nanti kalau sudah besar,” ucap Fitri.
Ia berharap, ada wadah yang bisa memfasilitasi bakat anak sulungnya tersebut. Dengan begitu, ia yakin Bayu bisa jadi dalang yang baik dan bisa menghibur masyarakat.
Lebih penting lagi, melestarikan kearifan nilai-nilai budaya Banjar melalui lakon dan cerita para tokoh wayang yang dimainkan Bayu.