TRIBUNNEWS.COM -- Rasanya sulit membayangkan seorang wanita dapat hidup tanpa vagina dan rahim. Namun, pada kenyataannya, hal itulah yang dialami Joanna Giannouli, seorang wanita asal Yunani yang terlahir tanpa vagina dan rahim hingga harus dibuatkan vagina buatan agar bisa berhubungan seks.
Lewat sebuah surat terbuka, Joanna Giannouli mencurahkan isi hati tentang bagaimana hidup dengan sebuah sindrom yang menimpa sekitar satu dari 5.000 perempuan.
Berikut ini penuturannya.
Ketika pertama kali ke dokter dan mendapatkan kejelasan kondisi saya dari dokter, raut wajah ayah saya terlihat tegar. Namun, tidak begitu dengan ibu saya. Dia tidak bisa menerimanya dengan baik.
Ibu saya menyalahkan dirinya sendiri selama 10 tahun terakhir. Rasanya benar-benar menyedihkan melihat dia seperti itu.
Kami tidak terlalu sering membicarakannya dalam lima tahun pertama. Saya tidak mampu untuk membicarakannya. Saya merasa hancur dan sangat lemah.
Ibu saya meyakini bahwa dia mungkin telah melakukan hal-hal yang salah selama masa kehamilan dulu. Saya sudah meyakinkannya, dia tidak melakukan sesuatu yang salah, itu hanyalah faktor gen.
Ini keadaan yang menjadi stigma. Hal yang paling menyakitkan adalah ketika saya ditinggalkan mantan kekasih saya saat ia mengetahui kondisi saya.
Saya pernah bertunangan saat saya masih berusia 21 tahun dan tinggal di Athena, ibu kota Yunani. Ketika saya mengatakan kepada tunangan saya tentang kondisi saya, dia memutuskan pertunangan kami.
Namun, semua itu adalah masa lalu. Sekarang saya baik-baik saja.
Selama lima tahun terakhir, syukurlah, saya memiliki hubungan yang kokoh dan penuh cinta kasih dengan seorang pria.
Dia mengetahui dari awal bahwa saya memiliki kondisi seperti ini. Dia memilih untuk tinggal dengan saya.
Sungguh Beruntung
Pria saya yang baru ini mengetahui bahwa kami tidak akan bisa memiliki anak.
Dia tidak masalah dengan hal itu. Begitu pun saya. Saya sungguh beruntung.
Saat umur 14 tahun, karena saya belum juga mengalami menstruasi, ibu saya membawa saya ke dokter keluarga kami.
Dia tidak memeriksa saya karena dia tidak ingin menyentuh bagian-bagian pribadi saya.
Saat saya berumur 16 tahun, dia mengirim saya ke sebuah rumah sakit.
Di situ, dokter mengetahui bahwa saya tidak memiliki "lorong" vagina dan mereka menyatakan saya mengidap sindrom Rokitansky.
Karena saya terlahir tanpa vagina, para dokter harus membuatnya secara khusus agar saya bisa berhubungan seks.
Operasi berjalan baik, sangat baik. Saya dirawat di rumah sakit selama dua minggu untuk pemulihan.
Selanjutnya, saya harus berbaring di tempat tidur sekitar tiga bulan. Saya memang tidak bisa bangun.
Saya melakukan latihan khusus untuk vagina saya dalam rangka memperluas lorong vagina baru saya.
Gejala pertama dari sindrom yang saya derita ini adalah kondisi medis amenore primal, tidak mengalami menstruasi sama sekali.
Selain itu, kita tidak bisa berhubungan seks. Itu sebabnya saya harus menjalani operasi besar pada usia 17 tahun.
Vagina baru
Para dokter membuat sebuah vagina baru untuk saya. Itu adalah prosedur revolusioner di Athena saat itu.
Vagina baru yang dibuat oleh para dokter sempit dan kecil dan menyebabkan rasa sakit tak terhingga saat berhubungan seks.
Saya harus memperluas perineum, jaringan otot antara vagina dan anus, dengan melakukan latihan untuk vagina.
Ini sebuah area kecil di bawah vagina, berupa kulit dan jaringan, dan harus disayat lebih lebar agar lorong vagina lebih terbuka. Begitulah istilahnya.
Sesudahnya, saya merasa baik secara fisik. Namun, secara emosional, saya merasa tidak begitu baik.
Ini jadi sebuah beban, bagai sesuatu yang tidak bisa lepas.
Sejumlah mantan pacar saya melecehkan kondisi saya secara emosional. Saya tidak bisa memiliki hubungan yang stabil selama bertahun-tahun karenanya.
Situasi itu terus menghantui dan tak tertahankan. Hal itu bagai mencuri kebahagiaan kita, mentalitas kita, peluang untuk menjalin hubungan yang bagus dan stabil.
Situasi seperti ini membuat diri kita hampa dan kita diliputi dengan kemarahan, rasa bersalah, dan malu.
Selain itu, ada masa-masa sulit sesudahnya. Saya menderita secara emosional, psikologis, dan semua itu benar-benar berat.
Hampir 10 tahun sudah dan saya masih merasa menderita, tetapi saya sudah tidak merasa malu lagi, sudah terlalu lama.
Saya sadar bahwa saya tidak bisa mengubahnya. Semuanya harus diterima apa adanya dan hidup dengan kondisi seperti ini.
Selama beberapa tahun pertama dan kadang-kadang sekarang pun masih, saya merasa tidak berharga. Saya bagai barang yang rusak, tidak layak dicintai.
Saya bagai jiwa yang tersesat selama bertahun-tahun. Hal ini bisa menghancurkan hidup kita. Hal itu menempatkan kita dalam posisi yang benar-benar sulit.
Saya berjuang keras melawan depresi, kecemasan, dan serangan panik.
Ini memberikan saya pelajaran berharga.
Meskipun saya tidak percaya kepada Tuhan, saya percaya bahwa ini adalah peringatan penting bahwa jangan menganggap hidup kita pasti dengan sendirinya baik-baik saja.
Saya sudah terlahir kembali. Hal ini telah memberikan saya hidup yang baru, jati diri yang baru. Ini juga telah mengubah jalan hidup saya.
Sebelumnya, saya adalah remaja yang tipikal dengan segala pasang surutnya.
Setelah itu, saya menjadi benar-benar dewasa. Saya menjadi dewasa dengan cepat. Saya bersyukur akan hal itu.
Apa Adanya
Semua ini membentuk pribadi saya. Saya hidup setiap hari seperti apa adanya hari itu.
Saya tidak membuat rencana untuk masa depan karena saya tidak tahu apakah saya masih akan hidup.
Tidak banyak orang tahu hal itu. Saya bermaksud merahasiakannya dan ibu saya hanya memberi tahu sanak saudara.
Mengalami hal itu sungguh tak enak karena orang jadi mengasihani kita. Saya tidak ingin orang merasa kasihan kepada saya.
Saya tidak sedang sekarat dan saya tidak dalam bahaya.
Namun, orang-orang menunjukkan paras kasihan. Itu justru membuat saya merasa lebih sedih tentang keadaan diri saya.
Saya tidak bisa membicarakan hal itu karena di Athena, Yunani umumnya, orang-orang cenderung berpikiran tertutup.
Kadang-kadang saya merasa seperti hidup di abad pertengahan.
Di Yunani, saya juga tidak bisa menemukan kelompok pendukung yang diperlukan.
Saya tidak bisa menemukan orang untuk membicarakan hal itu.
Padahal, saya membutuhkan orang lain untuk berbicara tentang hal ini!
Ini sungguh persoalan besar dan kebanyakan perempuan dengan kondisi seperti ini merasa malu, sungguh.
Saya sudah bertemu beberapa perempuan yang bersedia untuk berbincang hal ini, tetapi setelah beberapa saat mereka menghilang karena merasa malu.
Saya juga ingin menjadi seorang ibu dengan satu dan lain cara. Baik itu menjadi seorang ibu biologis, ibu pengganti, atau ibu angkat.
Seorang ibu bukan sekadar menjadi perempuan yang melahirkan, melainkan juga yang merawat seorang anak.
Pada tahap hidup saya yang ini sekarang ini, saya belum berpikir tentang hal itu, tetapi mungkin di masa depan saya akan mempunyai anak.
Saya suka anak-anak. Kita lihat saja nanti.
Berbicara seperti ini sungguh membebaskan, memberi rasa terbebas.
Saya ingin mendukung setiap wanita yang memiliki kondisi seperti ini karena saya telah melewati "neraka" ini dan saya tahu masalah apa lagi yang bisa diakibatkannya.
Banyak perempuan bunuh diri karena sindrom ini. Memang hal ini bisa membuat kita benar-benar tertekan.
Saya menemukan kekuatan dan keberanian karena saya ingin membantu perempuan lain yang menderita hal yang sama.
Sebab, jika bukan kita yang saling membantu, siapa yang akan membantu kita?
Membicarakan hal ini sungguh memberi saya kekuatan. (Intisari/Kompas.com)