Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) RI, Suhadi mengakui pihaknya memang kembali kecolongan terkait dengan kasus dugaan suap yang melibatkan dua hakim serta seorang paniteranya.
"Memang kami kecolongan lagi, jadi Mahkamah Agung harus mengevaluasi sistem dan pembinaan serta pengawasan yang selama ini berlaku," ujar Suhadi, di ruang Media Center, Mahkamah Agung RI, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu (25/5/2016).
Ia pun menambahkan, selama ini hanya Ketua Pengadilan Negeri yang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap hakim dan aparatur pengadilan lainnya.
"Pembinaan dan pengawasan yang berjenjang selama ini adalah Ketua Pengadilan Negeri, dia membina dan mengawasi hakim serta aparatur pengadilan dalam lingkup pengadilan yang bersangkutan," imbuhnya.
Selain itu, Ketua pengadilan tinggi di daerah juga turut mengawasi aparatur pengadilan di masing-masing wilayahnya.
"Ketua pengadilan tinggi sebagai bagian terdepan Mahkamah Agung di daerah juga mengawasi dan membina para hakim serta segenap aparatur yang ada di dalam daerah hukumnya, wilayah pengadilan tingkat banding yang bersangkutan," jelasnya.
Suhadi memaparkan, seluruh aparatur pengadilan di Indonesia diawasi oleh Badan Pengawas MA.
"Di Mahkamah Agung juga ada Badan Pengawas Mahkamah Agung yang mengawasi seluruh aparatur pengadilan di Indonesia," paparnya.
Lebih lanjut ia menegaskan komisi yudisial dan non-yudisial juga ikut dalam pembinaan para hakim dan aparatur pengadilan lainnya.
"Selain dari pimpinan-pimpinan yang lain seperti Ketua Mahkamah Agung, Wakil Ketua Mahkamah Agung yang sudah ada bidangnya masing-masing, ada yudisial dan non-yudisial, juga turut serta untuk membina para hakim dan aparatur pengadilan dibawah," tuturnya.
Menurutnya, dengan adanya kasus dugaan suap yang muncul berulang kali, memungkinkan MA untuk melakukan peninjauan kembali terkait dengan sistem yang sudah ada.
"Sistem yang sudah berlaku seperti itu, dengan banyaknya hal yang kita alami sekarang, mungkin akan ditinjau kembali yang perlu diperbaiki dan disempurnakan," tandasnya.
Sebelumnya, KPK telah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap 5 orang pada 23 mei 2016 terkait kasus dugaan suap pengamanan sidang perkara dugaan korupsi honor Dewan Pembina RSUD Dr Muhammad Yunus Bengkulu, di pengadilan Tipikor Bengkulu.
Kelima orang yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka tersebut, tiga diantaranya yakni Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sekaligus Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang Janner Purba, Hakim ad hoc Tipikor Pengadilan Negeri (PN) Bengkulu Toton, dan Panitera Pengganti PN Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy.
Selain itu, dua tersangka lainnya yakni mantan Kepala Bagian Keuangan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Muhammad Yunus Bengkulu, Syafri Syafi'i, serta mantan Wakil Direktur Keuangan RSUD Dr Muhammad Yunus Bengkulu Edi Santroni.
Terkait penangkapan tersebut, KPK menduga transaksi penyuapan terjadi 2 kali, transaksi pertama dilakukan pada selasa (17/5/2016), lalu transaksi kedua dilakukan senin (23/5/2016).
Penyidik KPK mencokok Janner di rumah dinasnya dengan uang bukti suap senilai Rp 150 juta.
Belakangan, muncul dugaan Janner juga telah menerima uang sebesar Rp 500 juta pada transaksi pertama, sehingga total uang yang diduga diterima oleh Janner sebanyak Rp 650 juta.
Uang tersebut diduga juga akan diberikan untuk Hakim ad hoc Tipikor PN Bengkulu Toton.
Uang tersebut disinyalir sebagai 'pelicin' untuk mempengaruhi putusan dalam perkara dugaan korupsi honor Dewan Pembina Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Muhammad Yunus Bengkulu, di Pengadilan Tipikor Bengkulu.
Janner dan Toton berperan sebagai majelis hakim dalam perkara itu.
Penyidik KPK pun akan mendalami sumber uang haram yang diberikan oleh mantan Kepala Bagian Keuangan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Muhammad Yunus Bengkulu, Syafri Syafi'i, serta mantan Wakil Direktur Keuangan RSUS Dr Muhammad Yunus Bengkulu Edu Santroni.
Perkara dugaan korupsi honor Dewan Pembina RSUD Dr Muhammad Yunus Bengkulu dimulai saat Junaidi Hamsyah menjabat Gubernur Bengkulu mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor Z.17XXXVIII tentang Tim Pembina Manajemen RSUD Dr Muhammad Yunus Bengkulu.
SK tersebut diduga tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 mengenai Dewan Pengawas.
Akibat SK yang dikeluarkan Junaidi, negara mengalami kerugian sebesar Rp 5,4 milyar.
Berdasar pada hal tersebut, kasus itu pun bergulir di pengadilan Tipikor Bengkulu dengan terdakwa Syafri Syafi'i dan Edi Santroni. (*)