TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Di tengah parade pertunjukan budaya Nusantara yang bakal tampil di halaman Istana Negara dalam peringatan spirit 88 tahun Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2016 nanti, ada satu yang unik.
Wayang Ajen oleh Ki Dalang Wawan Ajen dari Jawa Barat.
Bukan wayang sembarang wayang, dia mendesain wayang kontemporer yang memadukan wayang golek Sunda, wayang kulit Jawa, wayang orang plus teater modern lengkap dengan multimedia, di kegiatan bertitel Nusantara Berdendang itu.
“Saya melibatkan 70 seniman, penari, penabuh gamelan, musik modern, penyanyi, berkolaborasi dalam satu pentas 10 menit! Lakon-nya Sumpah Sang Satria, sumpahnya Gatutkaca, matching dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928,” sebut Wawan Gunawan, nama asli ki dalang yang telah mendapatkan apresiasi dari UNESCO 2010 dan sudah mengibarkan karya budaya Merah Putih di 49 negara itu.
Apa uniknya?
Pertama, dia meramu musik etnik daerah-daerah di tanah air dari tradisi lokal Sumatera, Kalimantan, Jawa Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, wilayah perbatasan dan masyarakat bahari.
Display wayangnya juga tidak monoton hanya milik Jawa dan Sunda.
“Bahkan, saat wayang bermain, di panggung juga ada penari dengan kostum yang penuh makna. Ada yang menggambarkan 5 pulau besar di tanah air, ada wayang orang dan para penari yang mengikuti alur cerita si dalang,” tutur dia.
Kedua, ada wayang Presiden Joko Widodo.
Wajah dan performa-nya mirip presiden dan akan menjadi gong atau klimaks pertunjukan.
Pesan filosofi yang akan disampaikan adalah “perang baratayudha.”
Perang di sini dimaknai sebagai bentuk persaingan.
Bahwa bangsa Indonesia akan terus bersaing dengan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia, dan mencari peluang untuk tampil senagai pemenang.
“Baratayudha sejatinya adalah peperangan melawan ketidakadilan. Perang melawan kemiskinan, kebodohan, ketidakpedulian, ketertinggalan. Kita sedang berperang melawan keterpecahbelahan, egoisme, dan ketidakmauan bertanggung jawab. Perang kita diterjemahkan dalam kerja, kerja kerja! Berkarya dan terus mencipta,” kata Wawan dengan penuh semangat.
Di wayang itu, menurut Wawan, pesan moral yang ingin dibangun adalah spirit anak muda yang perkasa, kaya ide, dan berani.
Sosok itu ada pada wayang Gatutkaca. Lalu kebijaksanaan yang luhur diperankan Krisna.
Terobosan dan lompatan ide-ide besar untuk kemajuan dipersonifikasi oleh Adipati Karna.
“Akan banyak dialog dan monolog yang sarat pesan patriotik. Tetapi semua dikemas dalam bahasa wayang yang mudah dimengerti oleh khalayak, sekalipun berasal dari daerah yang tidak mengenal komunikasi wayang,” kata Wawan.
Ketiga, lakon Sumpah Sang Satria itu sendiri cukup menggelitik. Gatutkaca saat Bharatayuda sudah memiliki spiritual tinggi.
Dia dididik oleh ibunda Dewi Arimbi dan ayahnya Bima serta ajaran dan wejangan dari Prabu Kresna.
Gatutkaca sadar bahwa sebagai abdi Negara, dia wajib patuh terhadap perintah Negara.
Krisna mengangkat Gatutkaca menjadi senopati perang di Kurusetra. Sumpah sang satria Gatutkaca sampai titik darah penghabisan demi kejayaan Negara.
Gatutkaca sadar, musuh utamanya, Senopati Agung dari Astina, Adipati Karna tidak mungkin dia lawan.
Dia sudah tahu sebelum berperang, bahwa dia tidak mudah mengalahkan. Tetapi semangat bela Negara, demi Negara, itulah yang menjadi energi paling besar untuk tetap berjuang maju.
“Bukan soal menang dan kalahnya. Tapi saya menonjolkan spirit berani maju, berani membuat tantangan, demi Negara, itulah yang perlu diteladani,” kata Wawan.
Di ujung 10 menit, semua seniman berdendang bersama dengan lagu “Pesona Indonesia.”
Lagu yang dibawakan penyanyi Rossa itu dibawakan bersama-sama dalam gerak dan gaya yang riang.
“Dulu, kita berjuang untuk membangun semangat persatuan dan kesatuan. Sekarang kita bersatu untuk mencapai target wisman 20 juta di 2016, dengan kekuatan budaya dan tradisi yang kita punya di setiap suku dan daerah. Berbeda-beda budaya itu justru semakin menguatkan kebersamaan, dan menjadi kekuatan atraksi Pariwisata Indonesia,” kata dia.
Menpar Arief Yahya selalu mengingatkan di berbagai kesempatan, lestarikan adat dan budaya local. Karena itulah yang akan membawa Indonesia terbang di era cultural industry atau creative industry.
“Semakin dilestarikan semakin mensejahterakan,” katanya.