Serangan Israel Menghancurkan Gaza, Ribuan Orang Mengungsi Jalan Kaki
Ketika serangan udara Israel dimulai di dekat rumahnya, Hana\' Nayem dan keluarganya memutuskan untuk melarikan diri dengan berjalan…
Hana' Nayem dan keluarganya tak punya pilihan.
Ketika serangan udara menghantam kawasan tempat tinggalnya di utara Gaza minggu ini, nenek tersebut melarikan diri.
Mereka bergabung dengan ribuan orang lain yang ketakutan dengan satu-satunya pilihan untuk pergi dengan berjalan kaki.
"Pesawat berada di atas kami dan bom berjatuhan di mana-mana, seperti di samping kami saat sedang berjalan," kata Hana' sambil duduk di lantai, yang menggenggam tangannya.
"Tentu saja mengerikan. Semua orang dievakuasi dan berjalan kaki, termasuk anak-anak kami. Tidak ada transportasi."
Mereka sudah menyewa rumah susun di kawasan lain, namun tidak ada tempat yang aman dan tidak ada jalan keluar.
Sejak Minggu, sehari setelah Hamas menerobos dinding perbatasan dan menyerbu warga Israel di dekatnya.
Sejak saat itu, tidak ada air, tidak ada makanan, tidak ada obat-obatan, dan tidak ada aliran listrik.
Bahkan bantuan kemanusiaan pun dilarang.
"Saat penyerangan terjadi, semua orang berada di sekitar kami," kata Hana'.
"Tempat yang kami sewa ini tidak memiliki pintu dan keamanannya tidak baik."
"Saya bersumpah demi Tuhan, kami ketakutan. Kami duduk di sini ketakutan."
Sejak serangan hari Sabtu, ribuan orang tewas, baik di pihak Palestina dan Israel.
Militer Israel mengatakan lebih dari 1.300 orang tewas dan setidaknya 97 orang disandera oleh Hamas, sementara Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan 1.400 warga Palestina tewas dan lebih dari 5.600 orang terluka.
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UNOCHA) memperkirakan lebih dari 338.000 orang mengungsi di Gaza.
Saat ini Hana' tinggal sementara di apartemen sewaan bersama kedua putranya dan keluarga mereka, yang totalnya berjumlah 25 orang.
Salah satu putranya, Mahmoud, mengatakan anak-anaknya kesulitan tidur di tengah penembakan yang tidak berhenti.
Selama jeda pengeboman, anak-anak hanya bisa mencoba duduk dengan tenang, saling berpelukan.
Suara ledakan pun tak jauh dari tempat tinggal mereka.
Perempuan berusia 47 tahun itu menyeka air mata dengan hijabnya sambil memasak sedikit makanan yang tersisa di kompor gas.
Persediaan makanan mereka akan habis hari Jumat ini.
"Kami menjaga diri kami semaksimal mungkin. Kami makan dan minum apa yang kami punya," kata Hana'.
"Setelah itu, kecuali ada bantuan, seseorang yang bisa membantu, kondisi kami akan jauh lebih buruk."
Meskipun masyarakat di sini terbiasa dengan kondisi tak menentu, eskalasi konflik baru-baru ini jadi yang terburuk dalam beberapa dekade dan cukup mengejutkan.
Hampir seminggu sejak pertempuran dimulai, kondisi masih jauh dari puncaknya.
Lebih dari 100 sandera dari Israel masih berada di Gaza, sementara pertempuran juga terjadi di utara Israel, yang berbatasan dengan Lebanon.
Sementara itu, jumlah bentrokan di Tepi Barat juga semakin meningkat.
Di Yerusalem, beberapa orang memperkirakan ketegangan akan memuncak ketika shalat Jumat diadakan di Masjid Al-Aqsa hari ini.
Memegang teguh agama adalah sesuatu yang dilakukan banyak orang di belahan dunia saat dalam kondisi putus asa.
Saat penembakan dimulai, Hana' dan keluarganya pergi dan bersembunyi di loteng.
"Kami memohon kepada Tuhan agar Tuhan menyelesaikan masalah ini, membuatnya lebih mudah, dan menjadikan masalah ini lebih baik bagi semua orang," katanya.
"Dan membiarkan kita kembali ke rumah. Untuk mencari tempat tinggal."
Ini adalah perasaan yang dimiliki banyak orang di Gaza.
Banyak keluarga di luar sana yang seperti Hana' Nayem yang mulai mengungsi dengan berjalan kaki.
Seorang ayah menggendong seorang anak perempuan, dan dua anak lainnya jalan di belakangnya.
Orang-orang mencoba berteriak, suara klakson terdengar hiruk-pikuk, dan suara mobil yang berdengung.
Kemudian ledakan terdengar lagi dan asap mulai membubung tinggi.
Serangan lain baru saja dimulai.
Diproduksi oleh Erwin Renaldi