Produksi Baja Nasional Terbatas
Sektor manufaktur nasional masih belum kuat. Padahal Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan sektor manufaktur
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Sektor manufaktur nasional masih belum kuat. Padahal Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan sektor manufaktur. Sebenarnya untuk mendongkrak sektor manufaktur itu, perlu adanya pemanfaatan teknologi, tapi pemanfaatan teknologi di Indonesia pun masih belum optimal.
Menurut Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, selama ini kekuatan ekonomi nasional terdapat pada sektor nonmanufaktur, misalnya komoditas rokok, kelapa sawit, dan minyak goreng. Ini berbeda dengan Korea Selatan yang perkembangan ekonominya pada dekade 1970-an seperti Indonesia, tapi kini kemajuannya bisa melejit jauh tinggi.
Salah satu contohnya adalah tingkat pemanfaatan baja untuk manufaktur. Beberapa dekade silam, di Korea Selatan tingkat pemanfaatan baja untuk manufakturnya hanya 20 kilogram setiap orang per tahun., tapi kini 200 kilogram per orang setiap tahunnya. "Itu menunjukkan, Korea berhasil memaksimalkan teknologinya sehingga menjadi sebuah negara maju dan salah satu raksasa ekonomi Asia," kata Gita dalam Kuliah Umum di Aula Barat Institut Teknologi Bandung (ITB), Senin (29/4/2013).
Idealnya, kata Gita, agar manufaktur dapat menjadi kekuatan ekonomi Indonesia harus mampu meningkatkan pemanfaatan baja dengan cara menaikkan kapasitas produksi baja. Namun sampai saat ini, PT Krakatau Steel produksinya masih sekitar 3 juta ton per tahun, padahal seharusnya bisa mencapai 125 juta ton per tahun.
Namun, ujar Gita, untuk meningkatkan kapasitas produksi baja nasional, butuh dana besar. Untuk setiap ton baja per tahun, butuh investasi sekitar 1 miliar dolar AS.
Hal lain yang dibutuhkan Indonesia, kata Gita, adalah perlunya intervensi pemerintah, misalnya melalui kebijakan fiskal. Selain itu pembiayaan perbankan pun masih jadi kendala. "Tidak sedikit eksportir sulit memperoleh kredit ekspor. Selain itu suku bunga tinggi jadi hambatan," ujarnya.
Sebenarnya, kata Gita, potensi ekonomi nasional tergolong besar. "Secara total, saat ini potensi ekonomi dunia sekitar 75 triliun dolar AS. Porsi Indonesia sebesar satu persennya," katanya.
Untuk 20 tahun mendatang, Indonesia punya potensi ekonomi mencapai Rp 650 ribu triliun. Sekitar 60 persennya, yaitu sekitar Rp 350 ribu triliun, merupakan potensi domestik.
Dalam catatan Tribun Jabar, Indonesia sebenarnya memiliki deposit bijih besi hingga 320, 43 juta ton. Industri baja pun sudah dirintis sejak tahun 1970 dengan Krakatau Steel di Cilegon, Banten. Namun Indonesia belum mampu mengeksplorasi maksimal ratusan ton bijih besi itu. Sebaliknya industri baja Korea Selatan, Posco yang sama-sama berdiri pada 1970, pada tahun 2010 rata-rata mampu memproduksi baja 28 juta ton per tahun.
Saat ini, setelah sekitar 30 tahun industri baja Korea Selatan tumbuh, merek-merek seperti Hyundai, KIA, Samsung, dan sebagainya membanjiri dunia. Sementara Indonesia malah kewalahan menghadapi serbuan produk asing termasuk produk baja. (win/ary)