Kembangkan Investasi, Bank Indonesia Incar Pemilik UKM di Jepang
Kepala Perwakilan Bank Indonesia di Tokyo, Detty Agustono, yang baru 15 bulan bekerja di Tokyo
Editor: Widiyabuana Slay
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo, Jepang
TRIBUNNEWS.COM - Kepala Perwakilan Bank Indonesia di Tokyo, Detty Agustono, yang baru 15 bulan bekerja di Tokyo, dengan aktif berusaha mendekatkan hubungan perekonomian Indonesia dan Jepang dengan berbagai aktivitasnya selama ini.
Kini Detty berusaha untuk mendekati para UKM (Usaha Kecil Menengah) Jepang khususnya yang memiliki rencana bagi yang ingin berinvestasi di Indonesia.
"Selama ini saya melewati bantuan Bank BNI di Tokyo yang menjalin kerjasama dengan berbagai bank regional Jepang di Jepang. Saya diperkenalkan, lalu dari sana saya juga diperkenalkan oleh nasabah bank regional tersebut khususnya bagi perusahaan UKM yang mau berinvestasi di Indonesia di masa mendatang," paparnya khusus kepada Tribunnews.com siang ini (22/5/2013) di kantornya kawasan Marunouchi Tokyo lantai 9.
Menurutnya, pada saat nilai yen kuat memang menjadi hambatan bagi usaha Jepang untuk mengekspor produknya ke luar negeri. Sementara pasar di dalam negeri tampaknya sudah jenuh sehingga menyulitkan usaha mereka. Solusinya, banyak yang menginvestasikan usahanya ke luar Jepang di tengah nilai yen yang tinggi tersebut.
"Tetapi kini dengan nilai yen yang rendah terhadap dollar AS, bagaimana sikap mereka, apakah akan tetap berada di Jepang tidak lagi ke luar Jepang? Apakah berubah pemikiran mereka? Itulah yang ingin saya ketahui dari para UKM Jepang saat ini.Karena itu saya mau berusaha untuk mendekati mereka, menanyakan langsung pendapat mereka," tambahnya.
Para UKM di Jepang dalam pengamatannya selama 15 bulan ini menunjukkan ternyata ada karakter UKM yang sama di mana pun berada, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di Jepang. Karakter itu antara lain perekonomian, kekuatan finansial mereka yang masih lemah sehingga tetap perlu bantuan dari bank setempat.
"Di Jepang ada dua macam UKM menurut saya yaitu yang family owner, yang kecil, dan UKM yang kelas menengah agak besar, yang inilah biasanya yang menginvestasikan usahanya ke luar Jepang."
Bukan hanya menginvestasikan usahanya ke luar Jepang, para UKM tersebut juga bisa saja gagal di luar Jepang dengan berbagai resikonya.
"Kegagalan UKM di luar Jepang biasanya yang tidak atau belum memiliki pesanan, ke mana mesti dipasarkan produknya. Tetapi UKM yang sejak dari Jepang sudah terkait dengan perusahaan besar, katakanlah menjadi UKM dari manufaktur mobil besar Jepang, ke Indonesia juga sudah dipesan untuk memproduksi suku cadang perusahaan mobil besar Jepang itu pula, berarti sudah ada jaminan pembelian bagi produknya, maka UKM tersebut akan berhasil di Indonesia."
Itulah sebabnya, bagi UKM Jepang, baik barang maupun jasa yang ke Indonesia tanpa jaminan pemasaran yang kuat, tak jelas penjualannya, mereka memiliki risiko yang tinggi juga dalam berusaha di Indonesia.
"Saya ingin tahu semua itu, bagaimana mereka merencanakan berinvestasi ke Indonesia, termasuk risiko-risiko yang akan dihadapinya. Dengan mengetahui demikian tentu kita bisa belajar pula dari pengalaman mereka itu sehingga UKM Indonesia bisa lebih baik lagi di masa mendatang."
Bagi Bank Indonesia, tambahnya, tidak membiayai UKM di Indonesia. Tetapi Bank Indonesia memiliki program untuk membina melatih para UKM di Indonesia agar bisa menjadi UKM yang baik dan kuat.
Misalnya saja mengajarkan bagaimana melakukan pembukuan yang baik. Karena itu Bank Indonesia akan menyewa ahli pembukuan, lalu spesialis itu akan melatih UKM tersebut agar bisa membuat pembukuan perusahaannya dengan baik.