Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Krisis Kedelai Jangan Dianggap Remeh

Krisis kedelai telah menjadi masalah nasional dan berimbas langsung pada masyarakat.

Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama
Editor: Sanusi
zoom-in Krisis Kedelai Jangan Dianggap Remeh
/TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
KEMBALI PRODUKSI - Slamet (47) membersihkan kacang kedelai yang sudah direbus saat akan memulai produksi tempe kembali setelah tiga hari mogok produksi di pabrik tempe Arema, Jalan Jakarta, Kota Bandung, Rabu (11/9). Tiga hari mengikuti mogok produksi secara masal sebagai bentuk protes akibat belonjaknya harga kedelai, pakrik yang memproduksi tempe dengan bahan baku dua kwintal kedelai impor per hari itu harus merugi lebih dari Rp 500 ribu per hari. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Krisis kedelai telah menjadi masalah nasional dan berimbas langsung pada masyarakat. Tidak hanya konsumen tetapi juga nasib sekitar 1,5 juta perajin tahu dan tempe yang memproduksi tempe dan tahu di Indonesia.

Organisasi Massa Persatuan Indonesia (Perindo) menilai demonstrasi para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) produsen tahu dan tempe beberapa waktu lalu, adalah cara terakhir kelompok usaha kecil ini mempertahankan kelangsungan ekonomi dan kehidupan mereka.

"Perindo mendesak pemerintah agar menyikapi secara serius tuntutan para pelaku UKM ini dan menjamin nasib jutaan pelaku usaha dan keluarga yang
mereka hidupi," ujar Hendrik Kawilarang Luntungan Wakil Sekjen Bidang Ekonomi dan UKM Perindo, Senin (16/9/2013).

Hendrik menuturkan, hingga saat ini tak pernah ada respon pemerintah atas masalah hilangnya kesempatan kerja para produsen tempe dan tahu, kendati penghentian produksi dan pemberhentian tenaga kerja telah terjadi di berbagai daerah.

Menurut Hendrik, langkah Kementerian Perdagangan melalui penetapan harga khusus kedelai dalam bentuk harga jual pemerintah sebesar Rp 8.490 per kilogram pun masih terlalu tinggi dan tidak terjangkau oleh industri berbasis kedelai yang rata-rata berasal dari industri rumahan.

Penetapan tanpa tindakan dan pengawasan yang serius ini, justru membuka peluang importir mengambil untung dengan menjual stok kedelai sebelum depresiasi rupiah dengan harga baru sesuai ketetapan pemerintah.

"Ironis ketika para importir kedelai justru diduga mengambil keuntungan dari krisis kedelai," ungkap Hendrik.

Berita Rekomendasi

Bagi Perindo, krisis demi krisis yang dialami belakangan ini, menunjukkan bahwa pemerintahan SBY tidak melakukan langkah-langkah mendasar untuk memperkokoh fundamental ekonomi
Indonesia.

Hendrik mengatakan, krisis ekonomi 1998 nampaknya tidak cukup dijadikan pelajaran bagi semua pihak untuk membenahi sendi-sendi perekonomian bangsa yang tahan terhadap goncangan eksternal.

"Impor bahan baku yang mencapai hampir 80 persen adalah fakta telanjang bahwa selama 10 tahun berkuasa, pemerintahan SBY tidak membangun industri bahan baku di dalam negeri yang bisa mengurangi ketergantungan dari luar negeri," papar Hendrik.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas