Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Ada Dana Politik di Balik Kenaikan LPG?

Khususnya energi termasuk gas LPG. Penjelasan merugi ini disebabkan Pertamina berpatokan pada harga minyak mentah dari Saudi Arabia America Company

Editor: Rachmat Hidayat
zoom-in Ada Dana Politik di Balik Kenaikan LPG?
TRIBUNNEWS.COM/FX ISMANTO
Pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy menilai, pernyataan bahwa Pertamina merugi menjual LPG 12kg berdasarkan Kepmen ESDM No.26/2009 sungguh merupakan gambaran kuatnya tekad pemerintah memberlakukan mekanisme pasar bebas pada komoditas hajat hidup orang banyak.

Khususnya energi termasuk gas LPG. Penjelasan merugi ini disebabkan Pertamina berpatokan pada harga minyak mentah dari Saudi Arabia America Company.

"Pertamina menghitung bahwa harga pembelian LPG adalah Rp13.000/kg. Jika harga akhir di pasar untuk 12kg bergerak antara Rp122.500 hingga Rp145.000, Ali Mundakir, Humas Pertamina mengatakan, Pertamina masih merugi. Padahal impor dari Saudi Arabia dan Qatar memasok kebutuhan nasional 57 persen," ujar Ichasanuddin dalam pernyataannya, Senin (6/1/2014).

"Kontraktor Migas Asing (KPS) yang menghisap migas Indonesia memasok 31 persen, dan Pertamina hanya memasok 12-13 persen. KPS tentu mengikuti harga internasional, yang berarti patuh pada impor. Sementara Pertamina mengikuti Kepmen ESDM bhw LPG 12 kilogram mengikuti keputusan pemerintah. Ali Mundakir menerjemahkan sebagai quasi komoditas hajat hidup orang banyak," katanya lagi.

Persoalannya,sambung Noorsy, justru terletak pada struktur biaya pokok produksi yang dihasilkan KPS (karena ada cost recovery) dan yang diproduk oleh Pertamina. Masalah lainnya adalah, soal keharusan Pertamina mendapat untung secara finansial karena UU Migas 22/2001 dan UU BUMN.

Keharusan memperoleh laba ditambah dengan tidak jelasnya biaya pokok produksi dari impor dan dari KPS berujung pada kenyataan, betapa empuknya mendikte konsumen gas di Indonesia. Jelas, ini menunjukkan ketahanan energi Indonesia sangat rapuh.

"Pemerintah melihat kebijakan Pertamina sebagai aksi korporasi dan merasa perlu meminta Pertamina untuk transparan. Ironi, Pemerintah yang menyetujui siapa KPS di Indonesia, memilih siapa direksi dan komisaris Pertamina," ujarnya.

Berita Rekomendasi

"Sebagai pelaksana kedaulatan rakyat termasuk penegak kedaulatan energi. Sikap itu memberi bukti tambahan, pemerintah menjalankan prinsip ekonomi pasar bebas walau tidak dalam keadaan mampu membangun ketahanan ekonomi, termasuk ketahanan energi," Noorsy menejaskan.

Dalam posisi konsumen, Noorsy menegaskan kemnbali Indonesia terdikte. Pemerintah sendiri belanja impor Migas Rp472-475 T pertahuan.

"Bayangkan jika dari transaksi itu ada fee sebesar 1-2,5 persen yang dalam bisnis memang disebut sebagai biaya transaksi. Untuk menyegarkan ingatan, lihat saja kasus suap SKK Migas dengan tersangka Rudi Rubiandini, Simon Gunawan (Kernell Oil PL) dan menyeret Menteri ESDM, Sekjen ESDM dan Dirut Pertamina diperiksa KPK," ujarnya lagi.

Sementara beberapa pihak yang dicurigai terlibat, sambungnya, kini tak jelas di mana keberadaannya. Dua alasan itulah yang membuat banyak pihak purbasangka adanya dana politik di balik kenaikan LPG 12 kilogram.

Kecurigaan ini, menurut Noorsy, tak bisa dihindari. Institusi keuangan yang diawasi dan diaudit dengan ketat saja bisa mendanai kampanye, apalagi industri migas yang sarat dengan rekayasa transaksi dan akuntansi.

Kondisi ini yang membuat makin sulitnya publik percaya pada lembaga politik dan BUMN. Dampaknya, publik pun kehilangan kebanggaan pada pemimpinnya karena kepemimpinan diraih dg cara2 tdk jujur. Tapi itulah mekanisme pasar bebas yang sarat dengan informasi asimetri sebagai cikal bakal korupsi.

"Ada jalan keluar? Ada. Saya sejak 2008 mengagas agar Indonesia melakukan konversi pemakaian LPG ke gas alam. Dengan begitu kita mengurangi ketergantungan pada impor bersamaan dg perbaikan besar-besaran pada pengelolaan dan pengurusan enerji nasional," saran Noorsy.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas