Hadapi Korporasi Tambang Asing, Pemerintah Harus Berani
menunjukkan pemerintah tidak punya posisi tawar yang kokoh di hadapan korporasi asing
Pengusaha harus Patuh
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan bahwa para pengusaha tambang di Tanah Air harus mematuhi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010.
Pengusaha itu wajib membangun pemurnian dan pengolahan smelter di Indonesia serta pelarangan ekspor bijih mineral.
"Ini merupakan kesempatan bagi pembenahan industri pertambangan, yang selama ini hanya mengeksploitasi dan mengeruk bahan mentah pertambangan," kata Iwan.
Perubahan tata kelola tambang, menurut Iwan, akan mendorong lahirnya industri tambang yang lebih meluaskan kesempatan kerja produksi rakyat, khususnya buruh tambang. Ia sangat menyayangkan keberatan perusahaan tambang mengelola bijih mineral di dalam negeri.
Hal tersebut mencerminkan ketidakmampuan dan ketiadaan kemauan yang kuat dari pengusaha tambang untuk memulai suatu era baru industri tambang ke arah pengembangan pengelolaan bijih mineral di dalam negeri.
"Kami juga kecewa dengan ketegasan pemerintah yang goyah akibat tekanan pengusaha tambang untuk merevisi UU Minerba dan PP No. 23/2011," katanya.
Ketegasan pemerintah juga akan diuji dari peraturan turunan yang mengatur berapa persen kemurnian yang diwajibkan untuk pengolahan bijih mineral dalam negeri. Pemerintah seakan tunduk akan tekanan pengusaha atas larangan ekspor dan kewajiban melakukan hilirisasi.
KPA menilai bahwa ketidakmampuan pengusaha dan ketiadaaan tekad menjalankan PP No. 23/2010 adalah bukti pengusaha tambang hanya mau mengeruk dan mengekspor bahan mentah.
Hal itu juga membuktikan pengusaha tidak berkeinginan meningkatkan nilai tambah bijih mineral yang dalam prosesnya akan memperluas lapangan kerja dan mendukung industri nasional dalam negeri.
Dalam PP No. 23/2010 Pasal 112 angka 4 huruf C disebutkan bahwa perusahaan tambang melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat lima tahun sejak berlakunya UU No. 4/2009. Dengan demikian, mereka diminta membuat smelter sebelum 12 Januari 2014.
Menurut data Jaringan Advokasi Tambang di penghujung 2013, sekitar 45 persen wilayah Indonesia telah dipetakan untuk bisnis pertambangan dan ada lebih dari 11.000 izin di atasnya. Bahkan, selama 2013 pertambangan menjadi ruang konflik agraria struktural yang besarnya mencapai 38 konflik agraria di areal seluas 197.365,9 hektar.(Laksono Hari Wiwoho)