Australia Tak Bisa Terapkan Kemasan Polos Rokok RI
Pemerintah menegaskan, Australia tidak bisa menerapkan FCTC dan mewajibkan kemasan polos terhadap produk tembakau Indonesia.
Penulis: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia menegaskan, Australia tidak bisa menerapkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dan mewajibkan kemasan polos (plain packaging) terhadap produk tembakau asal Indonesia.
Pemerintah mendasarkan keyakinannya pada keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang mengugurkan keinginan Australia tersebut.
“Kalau soal rokok itu sudah salah kan Australia. Sudah tidak bisa lagi menerapkan itu. dia sudah kalah dituntut oleh perusahaan rokok Amerika,” ujar Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi di Jakarta, Selasa (4/3/2014).
Jika Australia tetap ngotot memberlakukan hal tersebut, Lutfi mengatakan, hal tersebut bisa saja diadukan kembali ke WTO. “Ya boleh aja, tapi kalau sudah kalah kan gak bisa diulang lagi. maksudnya final and binding istilahnya,” kata Lutfi.
Lutfi melanjutkan, hal yang sama juga berlaku untuk produk makanan asal Indonesia. “Pokoknya pada dasarnya kita gini, kita gak setuju barang kita dituduh macam-macam. Jadi kita mesti lihat bahwa itu kejadian seperti itu maka tidak menguntungkan semua orang,” tuturnya.
Untuk diketahui, Australia berusaha membatasi penjualan rokok dan produk tembakau di negaranya dengan menerbitkan aturan the Tobacco Plain Packaging Act pada tahun 2011. Dalam peraturan tersebut seluruh rokok dan produk tembakau yang diproduksi sejak Oktober 2012 dan dipasarkan sejak 1 Desember 2012 wajib dikemas dalam kemasan polos tanpa mencantumkan warna, gambar, logo dan slogan produk.
Australia tercatat sebagai negara pertama yang memberlakukan aturan tersebut. Belakangan Selandia Baru pun mengikuti.Kondisi ini membuat Indonesia Ukraina, Honduras, Republik Dominika dan Kuba juga telah mengajukan keberatan ke WTO. Negara-negara penggugat berargumen UU Australia itu melanggar peraturan perdagangan internasional dan hak cipta atas merek.
Kemudian, enam lembaga bisnis Amerika Serikat meminta pemerintah Selandia Baru menunda pemberlakuan undang-undang kemasan polos untuk rokok. Dikutip dari Kantor Berita Perancis AFP (Agence France Presse) kelompok yang mencakup Kamar Dagang AS, Dewan Perdagangan Asing Nasional dan Asosiasi Manufaktur Nasional, mengatakan undang-undang tersebut dapat menghilangkan hak pengusaha menggunakan ciri khasnya. Regulasi itu juga dikhawatirkan mendorong pasar gelap rokok
WTO sendiri mengawasi apakah ke-159 negara anggotanya mematuhi peraturan perdagangan global. Ketika penggugat memang badan penyelesaian sengketa WTO akan berhak memberi wewenang untuk melakukan langkah perdagangan pembalasan terhadap Australia, jika negara itu tidak mau patuh.
Mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan sebelumnya mengusulkan, sebagai tindakan balasan, negara-negara produsen tembakau termasuk Indonesia juga memberlakukan aturan kemasan polos atau plain packaging pada produk minuman beralkohol jenis wine asal Australia. Kalau rokok kita yang diekspor ke sana tidak boleh ada mereknya, wine mereka yang dijual di sini juga tidak boleh ada mereknya juga dong," kata Gita.
Anggota Komisi VI DPR RI, Hendrawan Supratikno menuturkan, jika praktik tersebut merugikan, kita patut memprotesnya. Menurutnya, dalam teori ekonomi khususnya di marketing strategy, konsumen butuh informasi akan produk yang akan dibeli.
Kemasan polos, katanya, hanya siasat Australia untuk menumbuhkan produk lokal lewat cara yang tak adil."Orang akan membanding-bandingkan dulu sebelum membeli rokok. Kalau itu tanpa merek, tanpa bungkus itu artinya Australia berharap ada pabrik lokal yang bisa tumbuh," tuturnya.
Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia AMTI Soedaryanto menyatakan, kebijakan kemasan polos produk tembakau dan cengkeh akan mempengaruhi penghasilan enam juta orang petani di Tanah Air, termasuk 3,5 juta anggota AMTI. "Peraturan kemasan polos akan menjadi ancaman bagi industri tembakau di Indonesia," serunya.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, pada tahun 2012 ekspor rokok dari Indonesia mencapai 63.273 ton. Jumlah ini naik 9 persen dibanding volume ekspor di 2011 yang mencapai 58.030 ton. Sementara dari sisi nilai, terjadi kenaikkan sekitar 11,8 persen dari 543,9 juta dolar AS menjadi 608,3 juta dolar AS.