Rencana Kenaikan Royalti Batubara Dinilai Tidak Tepat Waktu
Rencana pemerintah yang hendak menaikkan royalti batubara untuk IUP sebesar 10 persen-13,5 persen ditolak sejumlah pihak.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pemerintah yang hendak menaikkan royalti batubara untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebesar 10 persen-13,5 persen ditolak sejumlah pihak. Langkah pemerintah tersebut dinilai tidak tepat waktu karena di saat harga batubara sedang anjlok.
Demikian hal tersebut disampaikan oleh Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan, Budi Santoso saat dihubungi di Jakarta, Senin (7/4/2014).
Menurutnya, dampak yang dirasakan akibat rencana kenaikan tersebut mengakibatkan peningkatan jumlah masyarakat yang akan kehilangan pekerjaan, karena perusahaan tidak bisa beroperasi lagi.
Budi menambahkan, jika usaha pendukung kegiatan pertambanganpun ikut terseret dampaknya, yakni para kontraktor maupun penyedia jasa lainnya. Karena itu, kebijakan ini tidak pro poor dan pro job seperti yang selalu didengungkan pemerintah.
Ia menyebut keinginan pemerintah menaikan royalti batubara IUP tersebut merupakan upaya kompensasi atas pendapatan negara yang hilang akibat kebijakan hilirisasi dan pelarangan ekspor mineral.
"Pemerintah berupaya melakukan improvisasi atas kompensasi mineral. Tapi ini (improvisasi) yang salah," tegas Budi.
Pemerintah, lanjutnya hanya melihat dari sudut pandang pendapatan negara dengan cara menaikan royalti. Padahal, seharusnya tidak hanya melihat dari sisi pendapatan negara tetapi harus dilihat dari manfaat ekonomi dan multiplier effect dari kegiatan usaha pertambangan batubara.
"Jangankan dinaikkan (13,5 persen) setara PKP2B, yang 7 persen saja masih banyak pengusaha yang harus gulung tikar," imbuhnya.
Selain karena panik akibat pendapatan negara yang tergerus dari sektor mineral, kebijakan ini juga dinilai ada kesalahan pandangan terkait batubara. Batubara hanya dipandang sebagai komoditi pertambangan semata. Padahal, batubara adalah sumber energi dan merupakan sumber energi yang murah dibandingkan dengan minyak.
Jika keinginanan pemerintah ingin melakukan konservasi sumber daya batubara dengan menaikan royalti, maka langkah tersebut dinilai tidak tepat. Sebab dengan menaikan royalti, maka biaya juga akan naik.
Ia mencontohkan, jika ada 100 juta ton cadangan, maka cadangan yang bisa diambil minimal 75 juta ton. Tetapi jika dengan penaikan royalty 13,5 persen, maka cadangan yang bisa diambil hanya 50-60 juta ton. Dan sisa cadangan tidak bisa diambil, sebab tidak ekonomis.
"Jadi jangan berpikir bahwa cadangan tersisa masih banyak sehingga dari sisi konservasi akan bagus. Itu (cadangan sisa) juga tidak bisa ditambang, tidak ekonomis apalagi kalau harganya masih seperti sekarang ini," pungkasnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, pemerintah berencana menaikan royalti batubara untuk IUP, melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dalam rancangan perubahan PP tersebut, royalti batubara untuk IUP akan dinaikan menjadi 10 persen-13,5 persen.