Pakar: Sengketa Pajak Tidak Bisa Jadi Pidana Korupsi
Kasus sengketa pajak tidak dapat ditarik menjadi perkara tindak pidana korupsi.
Penulis: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus sengketa pajak tidak dapat ditarik menjadi perkara tindak pidana korupsi. Kalau ada aparat penegak hukum yang menarik kasus sengketa pajak menjadi perkara tindak pidana korupsi, maka dia telah melakukan penyalahgunaan kewenangan.
Hal tersebut diungkapkan Pakar hukum pidana Universitas Padjadjaran Bandung, Romli Atmasasmita, dalam diskusi publik bertema 'Solusi Sengketa Pajak: Administrasi atau Pidana?' yang diadakan Journalist of Law Jakarta, IG and Partner dan Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA) di Jakarta, Rabu (3/9/2014).
Dijelaskannya, penegakan hukum tidak dapat dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan atau melanggar undang-undang. "Karena merasa harus memberantas korupsi, maka menjadikan kasus sengketa pajak sebagai kasus korupsi. Bagi saya, hal itu sudah merupakan penyalahgunaan kewenangan," kata Romli.
Kalau sampai saat ini, masih ada aparat penegak hukum yang menarik kasus sengketa pajak ke ranah tindak pidana korupsi, maka itu merupakan kesalahan besar. "Hukum pajak itu sanksinya adalah administrasi, tidak boleh dibawa ke tindak pidana korupsi karena undang-undangnya itu, tidak mengarah ke tindak pidana korupsi," kata Romli.
Dijelaskannya, harus ada pemisahan yang tegas kapan sengketa pajak itu dikatakan sebagai kasus korupsi dan kapan itu administrasi.
"Kecuali kalau ada (oknum penyuap dan yang disuap) yang tertangkap tangan, maka sengketa pajak dapat dibawa ke ranah tindak pidana korupsi. Itupun kenanya dengan pasal penyuapan atau gratifikasi dan bukan pasal tentang merugikan keuangan negara," ujar Romli.
Jadi pasal yang dapat menjeratnya itu, kalau tidak gratifikasi, pasti suap. "Karena secara normal, Undang-Undang Pajak itu bukan korupsi," kata Romli.
Ditanya bagaimana terhadap wajib pajak yang telah melanggar ketentuan pidana administrative sehingga negara mengalami kerugian, Romli mengatakan, dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) itu tidak tersedia ketentuan yang memberlakukan UU Tindak Pidana Korupsi terhadap wajib pajak, akan tetapi wajib pajak dapat ditetapkan sebagai pelaku peserta eks Pasal 43 UU KUP.
"Tampaknya pembentuk UU KUP tidak berkehendak pelanggaran UU KUP dipidana dengan ancaman pidana UU Tipikor, namun dalam praktik telah terjadi sebaliknya, banyak perkara pajak menjadi perkara tipikor," kata Romli.
Sementara itu, menurut Executive Director Center For Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, sistem perpajakan Indonesia memungkinkan terjadinya sengketa pajak antara fiskus dan wajib pajak.
"Selaras dengan sifat UU Perpajakan sebagai hukum administrasi yang memiliki konsekuensi pidana, Ditjen Pajak seyogyanya mengedepankan pembinaan dengan pendekatan administratif sebagai primum remedium dalam rangka menghimpun penerimaan negara dan mendorong dan memberi kesempatan wajib pajak melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) dan melakukan pengungkapan ketidakbenaran," kata Yustinus.