Raskin Tak Sekedar Bagi-bagi Beras
Wacana penghapusan program beras untuk rakyat miskin (Raskin) kembali ditentang sejumlah kalangan.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana penghapusan program beras untuk rakyat miskin (Raskin) kembali ditentang sejumlah kalangan. Tokoh Hak Azasi Manusia, masyarakat petani hingga anggota legislatif, menilai pentingnya mempertahankan program raskin.
Alasannya, Raskin tidak sekedar program untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, tetapi juga terkait dengan pertumbuhan sumberdaya manusia dan pertahanan bagi distribusi produk para petani lokal dari serbuan produk impor.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir, Tokoh masyarakat yang juga mantan Wakil Ketua Umum Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) K.H Sholahuddin Wahid, dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon.
Winarno mengingatkan agar pemerintah tidak gegabah menghapus program Raskin. Sebab, program tersebut dinilai berhasil menjamin kebutuhan pangan masyarakat, menjaga stabilitas harga beras di pasaran, juga menjadi andalan petani untuk menjual hasil taninya dengan harga yang cukup mahal, di atas harga pasaran.
“Kalau Raskin dihapus, diperkirakan harga beras akan melonjak. Walaupun orang miskin dikasih uang (e-money) dan bisa membeli beras sesuka dia, tapi harga di pasar akan naik. Nah, uang yang diberikan itu cukup tidak buat memenuhi kebutuhan pangan mereka, kalau harga di pasar melonjak?” ujarnya.
Ia menguraikan, harga Raskin saat ini adalah Rp 1.600. Sementara harga beras termurah di pasaran Rp 6.600. Selama ini, masyarakat miskin memperoleh Raskin sebanyak 15 kilogram per bulan. Maka, pemerintah ke depan harus menyiapkan uang yang setara dengan harga 15 kilo beras per bulannya. Belum lagi, terganggunya harga beras di daerah-daerah timur, seperti Papua, Maluku dan Sulawesi.
“Selama ini, Raskin di daerah-daerah Papua sama dengan di Jawa. Karena pendistribusian ditanggung Bulog. Kalau dengan e-money, harga beras tidak terkontrol karena sesuai mekanisme pasar. Tentu harganya lebih mahal dari harga beras di Jawa, karena distribusi ditanggung oleh pasar. Kalau tak ada subsidi silang, kasihan orang miskin yang jauh. Ada ketidak adilan,” tandasnya.
Program Raskin, menurut Winarno, juga telah membantu para petani. Karena selama ini Bulog membeli beras petani di atas harga pasaran. Setiap bulan, Bulog setidaknya mengelola 3,6 juta ton hasil tani dari masyarakat.
“Selama ini petani merasa dibantu dengan program Raskin. Siapa yang mau beli hasil tani dengan mahal kalau bukan Bulog. Bulog mengelola 3,6 ton dari petani. Bulog mau membeli, karena ada Raskin. Sekarang Bulog kan Perum (Perusahaan Umum), harus cari untung tanpa disubsidi negara. Kalau gak bisa jual beras, karena Raskin dihapus, ngapain Bulog beli beras banyak dan mahal dari petani. Kalau tanpa raskin, Bulog hanya jadi perusahaan penggilingan,” ujarnya.
Untuk perbaikan, menurut Winarno, perlu kesepakatan dan perubahan sistem penyimpanan beras oleh Bulog. "Itu soal kesepakatan, bagaimana caranya agar Bulog bisa menyimpan lebih baik. Atau Bulog menyimpan gabah, jadi pengiriman ke daerah cukup gabah tinggal bulog menyiapkan penggilingan di daerah-daerah,” imbuhnya.
Sementara pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Sholahuddin Wahid (Gus Sholah) mengungkapkan, penyediaan Raskin adalah kewajiban Pemerintah yang diatur UUD 1945. Raskin menurut dia bukan hanya persoalan ketahanan pangan, tetapi soal pemenuhan Hak asasi masyarakat Indonesia untuk memperoleh kehidupan.
“Ketahanan pangan itu ketersediaan jumlah pangan untuk rakyat. Kalau hanya menyediakan pangan yang cukup di pasaran, tapi rakyat tak bisa beli, ya sama saja bohong. Pemerintah jangan lari dari tanggung jawab,” papar Gus Solah.
Adik Kandung Gus Dur yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Komnas HAM ini juga menyarankan, sebaiknya jumlah Raskin ditambah untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
“Raskin ini membantu rakyat untuk bisa beli beras. Tinggal sistemnya saja yang diperbaiki. Selain itu jumlahnya sedikit. Padahal, menurut Riset, orang Indonesia dengan gizi kurang mencapai 37-38 persen. Ini sama dengan jumlah Raskin. Jadi jangan dihapus. Rakyat Indonesia berhak hidup dan memproleh kehidupan. Yang harus menjamin pemerintah,” tuturnya.
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon. Ia mendesak pemerintah meninjau ulang rencana penghapusan Raskin. Pimpinan Koalisi Merah Putih itu menentang rencana pemerintah menghapuskan Raskin dan pupuk bersubsidi. Dia menilai, penghapusan itu sangatlah tidak tepat karena masih dibutuhkan oleh masyarakat.
Fadli berpendapat, pemerintah seharusnya menambah subsidi bagi masyarakat miskin dan petani, bukan menguranginya. "Akan lebih bagus lagi ditambah, bukan dihilangkan. Bahkan kalau bisa benih itu ya benih gratis, kalau memang mau betul-betul ke arah swasembada pangan. Karena petani kita saat ini masih merupakan masyarakat petani yang terlemah secara ekonomi,” ujarnya.