Bahas FCTC, Presdir Sampoerna Temui Menperin
Petinggi produsen rokok PT HM Sampoerna Tbk bertemu dengan Menteri Perindustrian untuk membahas beberapa isu terkait industri rokok di dalam negeri.
Penulis: Sanusi
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hingga saat ini, Pemerintah Indonesia belum meratifikasi traktat (perjanjian antarbangsa) internasional pengendalian tembakau atau framework convention on tobacco control (FCTC). Traktat tersebut memang dikhawatirkan berpotensi mengancam para produsen rokok kretek di dalam negeri.
Pagi ini, Senin (1/12/2014), petinggi produsen rokok PT HM Sampoerna Tbk bertemu dengan Menteri Perindustrian untuk membahas beberapa isu terkait industri rokok di dalam negeri, salah satu isu yang dibahas adalah soal proteksi industri tembakau nasional yang merupakan salah satu industri padat karya dan salah satu industri prioritas nasional di Indonesia.
Menteri Perindustrian Saleh Husin ditemani oleh Direktur Jenderal Agro Kemenperin, Panggah Susanto, dan Sampoerna dipimpin oleh Presiden Direktur PT HM Sampoerna Tbk, Paul Norman Janelle.
"Kami datang untuk perkenalan dengan menteri baru dan memberikan masukan mengenai isu-isu di industri tembakau," kata Paul.
Paul menjelaskan, Sampoerna mendukung posisi Menteri Perindustrian untuk menjalankan PP 109/2012 mengenai Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dan tidak mengikuti regulasi negara-negara lain ataupun melakukan aksesi FCTC.
"Sebagai negara yang berdaulat, Pemerintah Indonesia telah mempertimbangkan seluruh aspek penting dalam meregulasi industri tembakau dan ini diwujudkan melalui PP 109 Tahun 2012," lanjut Paul.
Menurutnya, peraturan tersebut telah memasukkan pertimbangan penting termasuk perlindungan kesehatan masyarakat dan anak, perlindungan jutaan tenaga kerja yang terlibat dalam produksi, pertanian dan perdagangan, sekaligus juga menjaga kelangsungan sektor industri tembakau Indonesia yang merupakan salah satu kontributor terbesar bagi pendapatan negara, serta merupakan industri dengan ekspor yang berkembang.
PP 109/2012 sebenarnya telah mencakup seluruh realita dari sektor industri tembakau nasional. Hal ini merupakan solusi dalam menyikapi berbagai kekhawatiran terkait kesehatan masyarakat mengenai penjualan dan pemasaran rokok. Pada saat yang bersamaan, PP 109/2012 juga memberikan kepastian akan masa depan industri dan jutaan masyarakat Indonesia yang menggantungkan mata pencahariannya pada industri tembakau nasional.
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengatakan, soal FCTC, posisi pemerintah masih pada sikap yang sama, yaitu tidak menandatangani FCTC. Karena akan mengancam eksistensi industri rokok di Indonesia.
"Industri kretek Indonesia peranannya sangat besar sebagai penghasil cukai lebih dari Rp 100 triliun dan menyerap banyak tenaga kerja," paparnya.
Jika soal isu kesehatan, kata dia, bisa diatur sendiri melalui PP 109 dimaksimalkan saja. Menurutnya, isu kesehatan bisa ditampung, tapi aturan-aturan tidak boleh dilakukan oleh pihak luar.
"Tekanan-tekanan masih kuat. Makanya kita tetap tidak ingin meratifikasi FCTC. Kita tetap konsisten," ujarnya.
Selain itu, dalam pertemuan itu juga membahas sigaret rokok tangan (SKT) dan masalah plain packaging (kemasan polos) di Australia.
"Kita perlu sikapi, jika meluas bisa dibalas dengan plain packaging untuk wine-nya," tegasnya.
FCTC merupakan perjanjian internasional kesehatan hasil negosiasi negara-negara anggota Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) yang diadopsi dari pertemuan kesehatan dunia pada 21 Mei 2003 dan mulai berlaku sejak 27 Februari 2005.
Namun demikian, Indonesia merupakan salah satu negara yang belum meratifikasi traktat ini, seperti halnya Amerika Serikat, Swiss dan Argentina, karena pemerintah khawatir FCTC dapat mematikan industri rokok secara perlahan, terutama petani tembakau yang kini hanya meraup pendapatan dari sektor ini.