Kemenperin Tolak Kenaikan Cukai Rokok
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dipastikan menolak kebijakan kenaikan cukai rokok sebesar 27 persen.
Penulis: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dipastikan menolak kebijakan kenaikan cukai rokok sebesar 27 persen. Pasalnya, kenaikan cukai dengan besaran tersebut bakal memberatkan produsen rokok nasional.
“Kenaikan cukai rokok dipastikan memukul produsen rokok, karena mereka juga terkena pajak daerah serta retribusi daerah (PDRD) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Selama ini, banyak kebijakan pemerintah yang merugikan industri rokok nasional,” tutur Faiz Ahmad, Direktur Minuman dan Tembakau Direktorat Jenderal Agro Kemenperin, Selasa (10/2/2015).
Faiz menegaskan, jika kenaikan cukai 27 persen dipaksakan, maka akan terjadi penurunan produksi. Dampak dari penurunan produksi itu justru akan menekan penerimaan cukai. Lebih berbahaya lagi, Indonesia bakal kebanjiran rokok illegal, baik itu dari penyelundupan maupun rokok illegal buatan dari dalam negeri.
"Jika kenaikan cukai terlalu tinggi, peredaran rokok ilegal makin besar dan ini tentu merugikan pengusaha dan pemerintah juga," tegasnya.
Dalam beberapa waktu belakangan ini, pemerintah memang terus menekan industri rokok dengan menggenjot cukai tinggi-tinggi. Sebagai gambaran, tahun lalu penerimaan cukai rokok pemerintah sebesar Rp 112 triliun. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional Perubahan (APBNP) tahun ini, target cukai digenjot hingga Rp 141,7 triliun, atau naik 27 persen dari besaran cukai yang disetor industri pada tahun lalu.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran pun sudah angkat bicara tentang dampak tingginya kenaikkan cukai. “Pada tahun 2014, dengan kenaikan cukai kurang dari 12 persen, telah terjadi PHK 10 ribu buruh rokok kretek, hampir semua perempuan,” ujar Ismanu.
Ismanu menyesalkan, keputusan kenaikkan tarif cukai itu sama sekali tidak melibatkan industri. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maupun melalui Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan dinilai enggan mendengarkan suara industri.
Ia mengingatkan, jika ini dipaksakan berpotensi melanggar Undang-undang Cukai Nomor 39/2009. “Dalam UU Cukai disebutkan syarat harus melihat situasi industri dan mendengar aspirasi dunia usaha,” ungkap Ismanu.
Sebelumnya, peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng juga meminta Menteri Perindustrian dan Kementerian Tenaga Kerja untuk campur tangan mencegah rencana ini. Daeng menjelaskan, akibat kenaikan target cukai sebesar 27 persen dari realisasi 2014 sebesar Rp 112 triliun, pabrik skala kecil menengah akan menjadi korban pertama.
Industri kretek, kata Daeng, memiliki social-economic effect yang sangat besar. Tidak ada satupun industri nasional yang kuat seperti industri kretek. Kalau rencana kenaikan itu dipaksakan, ini menegaskan bahwa kebijakan cukai rokok Pemerintahan Jokowi-JK penyebab kebangkrutan industri kretek nasional.
Pemerintah juga bersikap diskriminatif lantaran pemerintah tidak melakukan eksentifikasi cukai. Padahal tak hanya rokok yang bisa dipungut cukai. Misalnya, kenaikkan cukai minuman beralkohol atau minuman bersoda tidak masuk dalam target APBN-P 2015. “Target penerimaan cukai etil alkohol justru tidak naik karena hanya Rp 165,5 miliar,” ujar Salamudin.