Freeport Pakai IUP, Banyak Biaya Tidak Wajar Muncul
Kurtubi menilai perubahan status PT Freeport Indonesia dari kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) banyak kelemahan.
Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama
Editor: Sanusi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota DPR Komisi VII dari fraksi Nasdem Kurtubi menilai perubahan status PT Freeport Indonesia dari kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) banyak kelemahan.
Kurtubi berpendapat akan ada banyak biaya tak terduga yang bisa dikeluarkan Freeport, yang berdampak pada pemasukan negara.
"Itu ada biaya-biaya yang nggak wajar katakanlah, yang jadi unsur pengurang dari penerimaan negara," ujar Kurtubi, Kamis (11/6/2015).
Menurut Kurtubi, jika Freeport berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), pemerintah tak bisa mengontrol semua biaya yang dikeluarkan untuk eksplorasi. Pasalnya pemerintah saat ini belum mempunyai regulasi khusus mengatur biaya dari para pemegang IUP tersebut.
"Kalau izin usaha pertambangan tadi sudah saya paparkan, negara nggak punya mekanisme kontrol terhadap biaya yang mereka keluarkan," ungkap Kurtubi.
Kurtubi membandingkan pemasukan dari sektor migas pajak per royalti itu sekitar 85 persen. Sedangkan sektor tambang pajaknya 30 sampai 33 persen, namun untuk royalti komoditas emas hanya 3,75 persen, masih dibawah rata-rata royalti yang diterima dari komoditas lain.
"Nah ini kelemahan fatal dari IUP atau sistem konsesi di jaman kolonial. Royalti yang relatif sangat rendah," kata Kurtubi.
Namun Kurtubi melihat sisi positif dari IUP adalah izin Freeport bisa dihentikan oleh pemerintah kapanpun."Ya masih lebih bagus IUP. Karena bisa sewaktu waktu bisa cabut izin," tegas Kurtubi.
Sebelumnya diberitakan tribunnews.com waktu kontrak Freeport hanya sampai 2021. Dengan adanya perubahan status, izin eksplorasi perusahaan asal Amerika ditambah sampai 20 tahun mendatang.