Setelah Polemik Fatwa Haram, MUI Bicara Soal Lembaga BPJS Syariah
Menurut Slamet, pemerintah sebaiknya memberi opsi bagi umat Islam untuk memilih penyelenggara lain, misalnya dengan pembentukan BPJS Syariah
Editor: Yudie Thirzano
TRIBUNNEWS.COM, JOMBANG - Penyelenggaraan program jaminan sosial nasional (SJSN) di bidang kesehatan mendapat sorotan dari kalangan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ini setelah beredar kabar soal 'Fatwa Haram' terhadap BPJS Kesehatan.
Melalui Slamet Effendi Yusuf, Ketua Bidang Kerukunan MUI telah membantah kabar 'fatwa haram' tersebut. Namun Slamet mengakui, bahwa menurut MUI, BPJS Kesehatan tak sesuai prinsip syariah.
Menurut Slamet, pemerintah sebaiknya memberi opsi bagi umat Islam untuk memilih penyelenggara lain, misalnya dengan pembentukan BPJS Syariah.
"Diatur saja dalam peraturan pemerintah mengenai peraturan baru. Agar ada kebebasan masyarakat, jadi diberi pilihan," kata Slamet kepada Kompas TV di arena Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, Jawa Timur, Jumat (31/7/2015).
Menurut Slamet, MUI menyoroti bagaimana dana-dana yang dikumpulkan oleh BPJS Kesehatan itu digunakan secara tepat. Penggunaan dana-dana tersebut diharapkan tak menyalahi prinsip-prinsip syariah. "Tak perlu dikatakan syariah juga tak apa, asal sesuai prinsip syariah," ujar Slamet soal usulan alternatif BPJS Kesehatan itu.
Slamet juga menjelaskan bahwa MUI turut mencermati soal bagaimana BPJS Kesehatan mengumpulkan dana dari masyarakat. Menurutnya prinsip keadilan antara mereka yang mampu membayar iuran dan mereka yang secara ekonomi tak mampu harus diperhatikan.
Seperti diketahui, model bisnis syariah sebagai alternatif model bisnis 'konvensional' di Indonesia sudah berlangsung beberapa tahun. Sejumlah perusahaan asuransi dan perbankan pun sudah menyelenggarakan unit-unit bisnis syariah.
Saat diwawancarai, Slamet Effendi Yusuf bersama Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj. "Tidak ada fatwa haram, itu kesimpulan wartawan saat membaca rekomendasi MUI," tegas Slamet.
Sementara itu Said Aqil Siroj mengungkapkan polemik 'BPJS Kesehatan' itu menjadi salah satu materi pembahasan di forum Muktamar ke-33 NU yang mulai digelar Sabtu (1/8/2015). "Nanti yang membahas adalah sidang Komisi Bahtsul Masail," kata Said Aqil Siroj.
Polemik 'Fatwa Haram' BPJS Kesehatan ini mengemuka usai MUI mengeluarkan tinjauan soal BPJS dalam keputusan yang dihasilkan forum pertemuan atau ijtima Komisi Fatwa MUI di Pondok Pesantren At-Tauhidiyyah Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah, pada Juni 2015.
Dalam ijtima itu, Komisi Fatwa MUI menyebut bahwa iuran dalam transaksi yang dilakukan BPJS Kesehatan tidak sesuai ketentuan syariah. Lalu apa yang menjadi dasar pertimbangannya?
Ketua bidang fatwa MUI, Ma'ruf Amin menjelaskan, yang menjadi persoalan bukanlah subsidi silang yang diterapkan oleh BPJS Kesehatan. Namun, sistem pengelolaan dana yang dikumpulkan dari masyarakat. Menurut Ma'ruf, masyarakat tidak tahu uangnya diinvestasikan ke mana.
Dalam transaksi syariah, tidak boleh menimbulkan maisir dan gharar. Adapun, maisir adalah memperoleh keuntungan tanpa bekerja, yang biasanya disertai unsur pertaruhan atau spekulasi. Sementara gharar secara terminologi adalah penipuan dan tidak mengetahui sesuatu yang diakadkan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan.
"Kalau itu dibiarkan diinvestasi tanpa syariah, ada maisir-nya, seperti berjudi. Karena uang itu bisa diinvestasikan ke mana saja," ujar Ma'ruf saat dijumpai di kantornya, Kamis (30/7/2015).
Sehingga dari dua unsur itu, BPJS Kesehatan dianggap belum bisa memenuhi syariah. Seharusnya, pada saat akad, peserta BPJS diberikan pengetahuan lengkap sehingga uang yang disetorkannya benar-benar dimanfaatkan untuk hal-hal yang memenuhi syariat Islam.
Tak hanya itu, Ma'ruf melanjutkan, BPJS Kesehatan juga melakukan riba, yang dilarang oleh Islam. Riba didapat BPJS Kesehatan dengan menarik bunga sebagai denda atas keterlambatan pembayaran. "Enggak boleh, kalau syariah enggak boleh begitu," kata dia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.