Larangan Ekspor, Perkampungan di Tambang Bauksit Berubah Jadi Kampung Mati
Menjejakkan kaki di sana, rasanya sama seperti mengunjungi bangunan yang sudah lama ditinggalkan penghuninya.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, KETAPANG- Tiga buah tiang bendera berdiri di depan kantor PT Harita Prima Abadi Mineral di Kecamatan Air Upas, Ketapang, Kalimantan Barat. Walau ada tiga tiang, tidak satupun ada bendera menggantung.
Halamannya kotor dan sudah ditumbuhi rumput yang sudah meninggi. Halaman kantor terlihat tidak terurus sama sekali. Menjejakkan kaki di sana, rasanya sama seperti mengunjungi bangunan yang sudah lama ditinggalkan penghuninya.
Benar saja, kantor tersebut pintunya sudah terkunci. Debu, dedaunan yang berguguran, menghiasi halaman emper kantor tersebut. Dua buah rak sepatu di depan pintu masuk, kotornya minta ampun.
Buku tamu berikut aktivitasnya masih tergelatak di sebuah meja di emper kantor. Namun, tanggal terakhir yang tertera di akhir buku adalah tahun 2014.
Melongok ke dalam, terpampang dua foto berisi gambar Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono. Keduanya masih tertulis Presiden dan Wakil Presiden RI.
Head External Division PT Harita, Agus Rusli, mengungkapkan perusahannya memang seak 12 Januari 2014 berhenti beroperasi. PT Harita yang bergerak dalam bidang tambang bauksit harus mengakhiri penambangannya karena keluarnya Peratuan Menteri ESDM Nomor 1 tahun 2014 tentang larangan ekspor bauksit.
Kata Agus, sejak saat itu, semua kegiatan PT Harita yang berhubungan dengan penambangan bauksit harus dihentikan. Pihaknya juga tidak menjual bauksit yang telah ditambang sebelum keluarnya Permen tersebut.
Sekitar 1,14 juta ton bauksit teronggok di pelabuhan menjadi terlantar. Bauksit seinilai lebih kurang 43,32 juta dolar Amerika Serikat itu dibiarkan begitu saja dan kini hanya menjadi 'uang mati'. Bauksit tersebut kini tak ubahnya seperti gunung batu di Pelabuhan Kelampai, Kediuk, dan Labai.
Pemandangan kota mati menjadi jamak terlihat di beberapa titik perumahan warga ataupun area mess pekerja PT Harita. Beberapa diantaranya menunjukkan sama sekali tidak ada aktivitas kehidupan manusia.
Tidak hanya rumah, rumah ibadah seperti musala pun hanya menjadi seonggok bangunan. Tidak ada yang beribadah lantaran penghuninya sudah pindah. Maklum saja, PT Harita harus merumahkan 4.455 karyawan, PT Harita hanya mampu mempertahanan beberapa karyawannya untuk menjaga aset-aset perbambangan.
Agus mengungkapkan tidak tahu sampai kapan pihaknya mampu memmpertahankan karyawant tersebut mengingat belu ada tanda-tanda pemerintah melonggarkan aturannya.
Agus semakin khawatir lantaran jumlah karyawan yang saat ini dimiliki tidak mampu menjaga seluruh aset PT Harita. Ada saja peralatan mereka yang hilang. Selain hilang, alat-alat tersebut kini sudah berkarat. Kata Agus, butuh empat bulan untuk memperbaiki alat-alat tersebut supaya siap untuk bekerja.
Kehidupan semakin suram lantaran wilayah tersebut gelap gulita di malam hari. Di sana, warga sebelumnya mengandalkan pasokan listrik dari PT Harita. Selain perkampungan, dulu jalan-jalan juga mendapat penerangan. Maklum saja, PT Harita saat itu beroperasi 24 jam.
Kepala Desa Karya Baru, Sumanto, mengungkapkan warganya benar-benar merasakan himpitan ekonomi akibat tutupnya PT Harita. Kata Sumanto, tiga dusun yang berada di Desa Karya baru yakni Sedawak, Pelanjau, Batang Belian, dulunya merasakan langsung peningkatan perekonomian.
Selain bekerja langsung di PT Harita, warga juga memiliki kesempatan untuk membuka usaha. Antara lain usaha kontraktor pengangkutan dan usaha warung.
Angkutan tersebut untuk mengangkut hasil tambang bauksit sementara yang modalnya sedikit hanya membuka warung yang menyediakan kebutuhan atau sekadar tempat para pekerja PT Harita melepas lelah.
Kini, itu sudah tidak ada. Warung tutup, kontraktor tutup, karena ribuan pekerja dipecat.
"Dampak tutupnya PT Harita ekonomi masyarakat semakin susah. Kalau Harita berjalan, ekonomi sangat dirasakan masyarakat. Terutama untuk hal emergency yang sakit. Bisa cepat sampai ke Ketapang," ujar Sumanto yang membawahi 374 KK.
Sumanto mengungkapkan warganya sering melontarkan pertanyaan kapan PT Harita beroperasi kembali. Sumanto mengakui warganya tidak terlalu paham soal kebijakan pemerintah yang melarang ekspr bauksit.
"Mudah-mudahan Harita cepat beroperasi kembali dan kami tunggu karena dampaknya yang kami rasakan sangat berpengaruh sekali," pinta Sumanto.