DPR Minta Target Penerimaan Negara 2016 Realistis
Pertama kali dalam sejarah, di 2015, pendapatan industri rokok menurun.
Penulis: Rachmat Hidayat
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Sejumlah Anggota Komisi XI DPR RI mengusulkan agar Pemerintah merevisi asumsi target penerimaan negara melalui pajak dan bea cukai di Rancangan APBN (RAPBN) 2016.
Bila dipaksakan, justru akan mempersulit kalangan dunia usaha dan potensi memperbesar tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK).
Hal ini diungkapkan oleh para anggota Komisi XI DPR dalam rapat kerja membahas asumsid asar dalam RUU APBN 2016, di DPR, Senin (21/9/2015).
Hadir dalam rapat itu Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Menteri Bappenas Sofyan Djalil, dan Gubernur BI Agus Martowardoyo.
Anggota Komisi XI DPR RI, M.Misbakhun mengungkapkan, pihaknya prihatin dengan realisasi penerimaan negara dari pajak dan cukai saat ini yang baru 51 persen dari target di APBN-P 2015.
Padahal, APBN tahun ini tinggal tersisa kurang dari tiga bulan lagi.
Masalahnya, di asumsi RAPBN 2016 yang diajukan Pemerintah, target kenaikan pendapatan negara dari pajak dan cukai justru tambah dinaikkan.
Padahal, sejumlah kalangan dunia usaha sudah mengadu ke Parlemen soal perlunya Pemerintah mendukung mereka di tengah situasi makro ekonomi yang sulit saat ini. Apalagi ditambah makin buruknya situasi moneter akibat kurs rupiah yang makin terjepit atas US Dollar.
"Saya inginkan asumsi makro yang realistis. Asumsi makro itu melihat bagaimana kepercayaan pasar. Reaksi pasar akan natural kalau memang dia positif. Ini yang harus dipikirkan bersama. Jangan sampai asumsi makro ini justru membangun yang sebaliknya," kata Misbakhun.
Menurut Misbakhun, dunia usaha butuh insentif, sehingga seharusnya target kenaikan penerimaan pajak dan cukai tak terlalu membebani mereka.
“Mereka para pelaku usaha itu kan butuh bertahan hidup. Situasi ekonomi sedang tak bagus, begini, perlu diberi insentif kepada dunia usaha. Ya termasuk terkait pajak dan cukai, supaya tak menekan napas mereka,” kata Misbakhun.
Politikus Golkar yang juga Sekretaris Panitia Kerja (Panja) Penerimaan Negara Komisi XI itu, menyontohkan industri rokok dan tembakau.
Pertama kali dalam sejarah, di 2015, pendapatan industri rokok menurun.
“Di tahun ini saja sudah terjadi penurunan penjualan industrinya. Kalau target cukai dipaksakan naik, akan jadi masalah di industrinya,” kata dia.
Untuk mengatasi resiko fiskal, Misbakhun mendorong agar Pemerintah mencari alternatif pembiayaan yang minim risiko, sebagai kebijakan politik yang diambil.
Resiko minim yang dimaksud adalah pinjaman yang tanpa syarat menyulitkan pemerintah serta tingkat suku bunga tak memberatkan.
“Misalnya, kita bisa cari utang tak ke pasar tapi berbunga rendah. Bisa lewat multilateral atau bilateral. Presiden (Joko Widodo, red) kan sudah ke Timur Tengah membicarakan kemungkinan mendapat pembiayaan demikian. Ada alternatif lain juga seperti Jepang dan China juga,"ujar Misbakhun.
"Saya yakin upaya presiden itu serius untuk mencari alternatif pembiayaan di saat penerimaan pajak tak tercapai, ini yang terbaik,” katanya.
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Indah Kurnia menyatakan, bila Pemerintah memaksakan target penerimaan negara terlalu tinggi, maka bisa berkonsekuensi pada meningkatnya resiko pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dicontohkan dengan kenaikan cukai 7-8 persen di cukai rokok, ada 20 ribu pekerja di-PHK perusahaan rokok.
"Kalau nanti mau dinaikkan 23 persen, bisa diprediksi 60 ribuan pegawai di-PHK. Itu baru dari pabrik. Belum imbas ke petani dan distributornya," kata Indah.
Anggota Komisi XI DPR lainnya, Maruarar Sirait, menambahkan agar Pemerintah mendnegarkan keluhan para pelaku dunia usaha yang sudah menyatakan akan sulit bila target penerimaan pajak dan cukai dinaikkan Pemerintah. Jauh lebih baik, lanjutnya, Pemerintah menargetkan penerimaan yang lebih rendah tapi tak menganggu sektor usaha.
"Kalau lebih realistis dan usaha tetap hidup, bisa jadi ke depan Pemerintah bisa mendapat penerimaan lebih dari yang ditargetkans ekarang. Kalau Pemerintah memulai dengan optimisme berlebihan, tapi nanti tak tercapai, kan lebih parah. Jauh lebih baik targetnya lebih rendah Rp150 Triliu, misalnya, tapi nanti capaiannya lebih tinggi, itu lebih bagus," Maruarar menegaskan.