Faisal Basri: Kebakaran Hutan dan Lahan Ancam Pertumbuhan Ekonomi
Faisal Basri mengatakan kebakaran hutan yang terjadi akhir-akhir ini akan berdampak pada target pertumbuhan ekonomi Indonesia
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat ekonomi Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan, kebakaran hutan yang terjadi akhir-akhir ini akan berdampak pada target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pasalnya, salah satu penyumbang devisa ekspor, industri pulp dan kertas merosot.
"Kebakaran ini berdampak pada industri pulp dan kertas. Target perekonomian saya ragu bisa 4,7 persen. Ekspornya juga bakal di bawah target," ujarnya saat diskusi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Kamis (5/11/2015).
Penurunan ekspor tersebut diperparah dengan adanya boikot dari Singapura terhadap 12 produk kertas asal Indonesia. "Target ekspor kita dengan adanya kebakaran hutan akan sulit tercapai,” tambahnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Purwadi mencatat akibat kebakaran yang terjadi, pasokan kayu hutan tanaman industri (HTI) kuartal III turun 29 persen menjadi 6,56 juta meter kubik (m3) dibanding kuartal 2 9,26 juta m3.
Pasokan yang berkurang berasal dari daerah bencana kebakaran hutan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
"Devisa ekspor pulp dan kertas akan turun di penghujung tahun dari saat ini 5,6 miliar dolar AS," jelas Purwadi.
Faisal mengaku menyayangkan penyataan pemerintah yang mengatakan ada ratusan perusahaan yang menjadi tersangka dalam kasus kebakaran hutan tahun ini tanpa membuka secara transparan siapa saja pelaku utamanya.
Kondisi tersebut menurut mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) akan membuat perusahaan-perusahaan di industri itu saling melemparkan kampanye negatif saling tuding sebagai pelaku pembakar hutan.
"Ini pukul rata semua. Perusahaan yang baik kena juga. Padahal tidak bakar hutan," lanjutnya.
Dalam penanganan kebakaran hutan, Faisal Basri justru mengkritik lambatnya upaya pemerintah dalam memadamkan api di awal fenomena kebakaran terjadi. Pemerintah baru turun tangan ketika sudah banyak area hutan yang terbakar.
"Alasannya tunggu dari daerah tetapkan bencana. Kalau sudah lintas provinsi kenapa masih didiamkan? Apalagi lintas negara," tukasnya.
Pengamat Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Ricky Avenzora menambahkan, kebakaran hutan telah menyebabkan persaingan bisnis yang tidak sehat.
"Belum tahu pelakunya, sudah ada ancaman pencabutan izin. Ini persaingan bisnisnya sudah sangat keras," jelasnya.
Menurut Ricky, yang seharusnya dilakukan pemerintah dan pelaku industri saat ini adalah tidak saling menyalahkan, tetapi mencari penyebabnya. Apalagi kebakaran hutan ini jaraknya sampai kiloan meter. "Ini jadi pertanyaan. Kalau loncatnya masih 100 meter (m) -200 m masih masuk akal," katanya.
Ia menyebut kebakaran hutan memang selalu terjadi hampir setiap tahun. Namun, untuk tahun ini diperparah dengan siklus kekeringan 15 tahunan.
"Yang jadi pertanyaan kenapa pemerintah tidak aware soal siklus ini. Kenapa tidak ada yang teriak," sambungnya.
Karena itu, dia berharap, pemerintah berhati-hati dalam menyelesaikan masalah kebakaran ini jangan sampai malah menghancurkan industri kertas, pulp dan sawit.