Gappri: Pengenaan Cukai Tiga Kali Lipat Beratkan Industri
Rencana pengenaan cukai tiga kali lipat untuk tembakau impor dalam RUU Pertembakauan dinilai memberatkan industri
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pengenaan cukai tiga kali lipat untuk tembakau impor dalam RUU Pertembakauan dinilai memberatkan industri. Pasalnya, saat ini 40 persen tembakau di Indonesia masih impor.
Sebagai gambaran, Direktur Makanan dan Tembakau, Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Faiz Achmad menjelaskan, hasil produksi tembakau di Indonesia hanya sekitar 180 ribu ton sampai 190 ribu ton per tahun. Sedangkan kebutuhan mencapai 330 ribu ton per tahun.
Pengenaan cukai tinggi untuk tembakau impor juga akan membuat industri rokok tak kondusif dan memicu rokok ilegal yang meresahkan pelaku usaha. Ujungnya, target penerimaan cukai rokok yang sudah ditetapkan tak mungkin tercapai. “Pengenaan cukai dan pajak untuk industri rokok saat ini sudah besar. Jika ditambah lagi, terkesan ada pajak berganda,” kata Faiz, kemarin.
Sejatinya, pada pekan lalu, Kemenperin mengundang para pemangku kepentingan industri hasil tembakau (IHT), kementerian terkait dan juga Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk membahas masalah cukai tembakau impor tersebut dan kondisi riil di masyarakat.
“Kami ingin mencari solusi dan regulasinya,” ungkap Ismanu Soemiran, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) (Senin 9/10) yang hadir di acara tersebut.
Ismanu menambahkan, Gappri sendiri dalam pertemuan itu menyampaikan. Selama 10 tahun lamanya di masa Kementerian Pertanian Kabinet Indonesia Bersatu, IHT benar-benar diabaikan oleh pemerintah. Akibatnya sekarang, beban IHT sekarang menjadi sangat berat. Beragam persoalan yang mendera IHT berlangsung masif dan sistemik.
Sikap yang sama juga terjadi pada pertanian tembakau. Para petani tembakau “dipaksa” beralih ke tanaman lain. Akibatnya lahan pertanian tembakau menyusut.
"Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat (Balitas) yang menyediakan standar mutu bibit tembakau justru dikebiri. Bidang tembakau dihapus tinggal tanaman serat saja," tandas Ismanu.
Akibatnya sekarang terasa. Ketika produksi rokok meningkat, tembakau lokal gagal memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kondisi itulah yang membuat industri rokok harus impor tembakau. “Selain itu, grade atau kualitas tembakau lokal juga terus menurun,” tambahnya.
Ismanu menambahkan, pertemuan itu melahirkan lima kesepakatan. Pertama, masalah IHT karena kebijakan yang salah dari pemerintahan yang lalu. Untuk itu, dalam rapat koordinasi disepakati untuk menguatkan kembali kemitraan antara petani dan IHT. Kemudian segera membentuk tim terpadu dari unsur pemerintah, petani, dan IHT.
Kedua, pengembangan tananan tembakau untuk memenuhi kebutuhan IHT, khususnya jenis Virginia. Ketiga, dilakukan pemetaan industri dan tanaman tembakau. "Kami sepakat melakukan inventarisasi riil IHT, berapa banyak yang masih beroperasi dan berproduksi,“ jelas Ismanu.
Keempat, peserta mendesak Kementerian Perdagangan untuk mencabut PerMenDag No.75/2015 tentang dibukanya/dibebaskannya impor cengkeh. Terakhir, “Disepakati untuk menjaga harga cengkeh jangan sampai jatuh dibawah biaya produksi," pungkas Ismanu.
Sebelumnya, dalam pembahasan RUU Pertembakauan oleh DPR terdapat pasal yang mengatur tentang impor tembakau. Di pasal tersebut dijelaskan bahwa tembakau impor akan dikenakan cukai sebesar 60 persen dari harga pasar, sedangkan rokok yang mengandung tembakau impor akan dikenakan biaya cukai tiga kali lipat.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.