Penggunaan Yuan pada Perdagangan Bilateral Tiongkok-Indonesia Diapresiasi
“Kalo Renminbi Yuan ini jadi reserve currency (cadangan mata uang – red), maka secara otomatis pangsa dari US Dollar sejumlah 60% akan terbagi."
Editor: Robertus Rimawan
Kebijakan ini bisa dilakukan berdasar kesepakatan Bilateral Currency Swap Arrangement/ BCSA (rencana alat tukar bilateral – red), yang sudah ditandatangani sejak 1 Oktober 2013, dan bisa diperpanjang per tiga tahun.
Sebagai informasi, kesepakatan itu tak hanya mengatur penggunaan mata uang yuan dalam perdagangan bilateral Indonesia – Tiongkok, tapi juga memungkinkan penggunaan rupiah untuk transaksi yang dilakukan di negeri tirai bambu itu.
Donny melihat kesepakatan ini bisa membawa dampak positif baik untuk Indonesia mau pun sebaliknya.
“Apalagi Indonesia mempunyai hubungan sangat besar dengan China. Nah, dengan adanya itu (BCSA – red) juga bisa mengamankan kurs kita (rupiah) sebetulnya."
"Yah baguslah, artinya mereka mengakui rupiah, begitu juga sebaliknya. Sehingga impor dari China bisa bayar pakai rupiah, dan mereka mau. Kalau negara lain kan tidak mau, maunya menggunakan US dollar. Dengan kesepakatan ini kan bisa mengefisiensikan perdagangan dan menghemat devisa kita,” tandas legislator dari Dapil Jawa Tengah III ini.
Namun, sekali lagi Donny mengingatkan kesepakatan itu bisa berimplikasi negatif jika diterapkan sewaktu Renmimbi belum masuk dalam reserve currency (SDR – red). Ketika hal itu terjadi, Indonesia akan kesulitan memanfaatkan cadangan yuan renminbi, mengingat penggunaannya di tingkat internasional masih terbatas.
Padahal, cadangan devisa Indonesia juga dibutuhkan untuk aktivitas ekonomi internasional dengan berbagai negara di dunia, selain China.
“Negara lain pasti akan bertanya ini mata uang apa? Sedangkan China memegang uang kita masih bisa ditukar ke US Dollar di negara lain, nah ini Reniminbi kita tukar ke negara lain tidak laku, nah ini yang menjadi perkara dan persoalannya terkait renminbi,” pungkasnya.(*)