Revisi UU Migas Harus Terhindar dari Potensi Judicial Review
Pembahasan revisi UU Migas yang tengah digodok DPR, harus dilakukan dengan cermat dan berhati-hati.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembahasan revisi UU Migas yang tengah digodok DPR, harus dilakukan dengan cermat dan berhati-hati.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Juajir Sumardi mengatakan RUU Migas harus netral dan tidak boleh mengandung potensi judicial review. Oleh karena itu, harus dibangun berdasarkan amanah konstitusi, dalam hal ini sesuai Pasal 33 ayat 2 dan 3.
Ia mengatakan monopoli negara terhadap kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting memang dikuasai negara namun Di sisi lain,karena bersifat non executable, yakni badan hukum yang tidak bisa melaksanakan hak dan kewajibannya secara mandiri, maka negara harus diwakili pemerintah.
Dengan demikian, pemerintah diberi kuasa pertambangan oleh negara, sehingga mempunyai hak penguasaan atas sumber minyak dan gas.
Ia mengatakan karena pemerintah non eligible,yakni tidak bisa melaksanakan kegiatan bisnis, maka pengelolaan minyak dan gas bumi harus diserahkan kepada badan usaha khusus,
yang mengusahakan pengelolaan minyak dan gas bumi yaitu BUMN yang punya pengalaman, modal, teknologi, SDM, yang selama ini sudah teruji yaitu Pertamina.
Ia mengatakan melalui UU yang baru, penguasaan sektor hulu dan hilir harus berada pada Pertamina.
"Jika Pertamina bisa melaksanakan, silakan Pertamina sendiri. Tetapi jika tidak Pertamina berhak melakukan kerja sama business to business, baik yang didasarkan atas production sharing contract atau service contract," ujar dia dalam siaran persnya, di Jakarta, Kamis (3/12).
Ia tidak setuju jika DPR dan Pemerintah memunculkan badan khusus tetapi bukan Pertamina yakni dengan mengubah SKK Migas menjadi BUMN Khusus. Kalau opsi tersebut yang dipilih, maka tidak memenuhi unsur efisiensi dan efektivitas.
Dengan menjadikan SKK Migas sebagai BUMN Khusus maka akan membuat high cost economy, karena otomatis badan usaha khusus baru itu butuh tenaga kerja, sumber daya tekonologi, butuh aset, biaya dan seterusnya.
“Pembiayaan itu akan diambil dari APBN dalam jumlah luar biasa besar. Kondisi ini tidak hanya membuat APBN kembali digegoroti, namun juga berpotensi menjadikan BUMN Khusus tadi sebagai sarang penyamun gaya baru," ujar dia.
Ia mengatakan Pembahasan revisi UU Migas sendiri, diperkirakan baru selesai tahun mendatang. Meski masuk daftar Prolegnas 2015, namun hingga kini belum ada tanda-tanda penyelesaian.
Anggota Komisi VII DPR RI, Kurtubi mengatakan perkembangan RUU masih sangat lamban. Dengan demkian, mau tidak mau pembahasan revisi UU Migas akan berlanjut hingga 2016.
Menurut Kurtubi, keterlambatan ini menjadi PR bagi DPR. Meski proses pembahasan masih panjang, Kurtubi mengaku bahwa dia dan Fraksi Nasdem telah menentukan sikap, yakni menolak rancangan tersebut. Termasuk konsep yang akan mengubah SKK Migas menjadi BUMN Khusus bidang migas. Sebab jika dipaksakan membentuk BUMN Khusus maka asetnya sulit.
“Yang namanya perusahaan minyak tentu harus punya lapangan migas, kilang minyak, pom bensi, dan sebagainya. Kalau mau mengubah SKK Migas menjadi BUMN Khusus, asetnya tidak ada," ujar dia.