'Modernisasi' Jadi Biang Kesengsaraan Petani Garam
Berharap dengan proyek modernisasi tersebut hidupnya bisa sejahtera, ternyata hanya janji
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- Janji proyek modernisasi PT Garam Tahun 1973 dengan melakukan pembebasan ribuan hektar tanah milik petani garam, khususnya di Kabupaten Sumenep, ternyata tidak seperti yang diharapkan masyarakat sekitar.
Berharap dengan proyek modernisasi tersebut hidupnya bisa sejahtera, ternyata hanya janji. Realisasinya justru sebaliknya, berbuah sengsara. Karena sejak lahan garam mereka berpindahtangan ke PT Garam, hanya beberapa saat saja eks pemilik tanah dipekerjakan oleh PT Garam di bekas lahan miliknya.
PT Garam pernah menerbitkan SK Nomor 1222 Tahun 1975 yang isinya selama modernisasi pegaraman belum dilaksanakan, petani pemilik tanah diperbolehkan menggarap lahannya. Tetapi beberapa tahun kemudian, yakni sekitar Tahun 1985, mereka harus terusir oleh kebijakan PT Garam yang memulai proses modernisasi dengan hanya mempekerjakan karyawanya sendiri.
‘’Sejak saat itulah, kami hanya bisa bertahan hidup dengan menjadi nelayan dan buruh serabutan. Selebihnya banyak diantara kami yang merantau kerja menjadi TKI di luar negeri,’’ kata Sahawi warga Desa Marengan Laok, Kecamatan Kalianget Sumenep, Minggu (13/12/2015).
Banyak warga kawasan pegaraman di Sumenep merantau di daerah lain. Mereka yang punya keahlian mengolah air laut menjadi garam memulai dengan membuka lahan pegaraman di daerah lain seperti di Manyar Gresik, di Surabaya, Tuban dan Lombok. ‘’ Sejak modernisasi itulah awal bencana kehidupan kami,’’ lanjutnya.
Pada Tahun 1999, ketika gelombang reformasi terjadi di tanah air, petani garam mulai mempersoalkan proses pembebasan lahan miliknya yang saat itu telah dikuasai PT Garam. Apalagi, ternyata tanah eks miliknya yang katanya akan dijadikan proses modernisasi pegaraman, justru tidak lagi digarap PT Garam, tetapi justru disewakan ke orang lain.
Gejolak dan bentrok antara petani garam dengan PT Garam nyaris setiap saat terjadi karena eks pemilik tanah menuntut lahannya dikembalikan karena rencana modernisasi tak pernah terjadi. PT Garam dituding menipu petani atau eks pemilik tanah untuk menguasai tanah milik rakyat demi kepentingan perusahaan bukan modernisasi.
Hingga pada akhirnya, pada tanggal 24 Februari 2000 perjuangan petani garam eks pemilik tanah yang menuntut agar tanah atau lahan garam yang sejak 25 tahun dikuasai oleh PT Garam, diserahkan hak garap kepada petani garam eks pemilik lahan. Di ruang pertemuan Kejati Jatim, disepakati 290 areal lahan yang dikembalikan. Terletak di kawasan pegaraman bagian utara dan selatan.
Melalui Yayasan Petani Garam Rakyat (YPGR) Al-Jihad, diserahkan luas tanah 290 hektar yang terbagi dua daerah. Yaitu 150 ha terletak di Desa Poja, Braji, dan Karang Budi yang kesemuanya berada di Kecamatan Gapura. Sedangkan untuk daerah selatan, luasnya kurang lebih 140 ha, yaitu di wilayah Kecamatan Kalianget dan Kecamatan Seronggi.
Beberapa tahun kemudian, penggarap lahan milik PT Garam harapan petani garam kembali buyar karena ternyata sewa hak garap di lahan milik PT Garam naik 100 persen. Petani garam rakyat dari Desa Karang Anyar, Pinggir Papas, Kecamatan Kalianget dan Desa Nambakor, Kecamatan Seronggir, Sumenep, mengeluh.
Harga sewa garap lahan PT Garam kepada masyarakat yang sudah bertahun-tahun itu, tiba-tiba naik 100 persen. Kenaikan itu juga sebelumnya tidak pernah disosialisasikan kepada masyarakat penyewa atau penggarap lahan milik PT Garam. Keputusan sepihak PT Garam dinilai disengaja untuk mengusir secara pelan-pelan warga sekitar lahan pegaraman milik PT Garam.
‘’Beberapa tahun terakhir, PT Garam menyewakan lahan miliknya kepada masyarakat, khusunya di lahan yang kurang produktif milik PT Garam berkisar Rp 1,5 juta per hektare. Tapi tahun ini dinaikkan menjadi Rp 3 juta per hektar,’ ujar KH Ubaidillah, tokoh masyarakat pegaraman Sumenep.
Liku-liku kehidupan petani garam yang membuat warga sekitar pegaraman nyaris tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya menjadi kuli garam, kuli bangunan dan nelayan atau bahkan malah menjadi TKI di luar negeri. Karena bertahan hidup dengan garam tak lagi menjanjikan. (Moh Rivai)