BI Rate Turun 25 Basis Poin
Suku bunga acuan Bank Indonesia BI Rate turun 25 basis poin menjadi 7,25 persen dari sebelumnya 7,5 persen.
Penulis: Sylke Febrina Laucereno
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sylke Febrina Laucereno
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Suku bunga acuan Bank Indonesia BI Rate turun 25 basis poin menjadi 7,25 persen dari sebelumnya 7,5 persen.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan suku bunga Deposit Facility 5,25 persen dan Lending Facility pada level 7,75 persen.
Dia menjelaskan keputusan ini sejalan dengan pernyataan BI sebelumnya bahwa ruang pelonggaran kebijakan moneter semakin terbuka dengan terjaganya stabilitas makroekonomi, serta mempertimbangkan pula dengan meredanya ketidakpastian pasar keuangan global pascakenaikan Fed-Fund Rate (FFR).
"Penurunan BI Rate secara terukur diharapkan dapat memperkuat pelonggaran kebijakan makroprudensial dan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) yang telah dilakukan sebelumnya," kata Tirta di Jakarta, kamis (14/1/2016)
Pelonggaran lebih lanjut akan dilakukan setelah dilakukan asesmen menyeluruh terhadap perekonomian domestik dan global dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
"Bank Indonesia juga akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dalam pengendalian inflasi, penguatan stimulus pertumbuhan, dan reformasi struktural, sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," ujarnya.
Ketidakpastian di pasar keuangan global mereda setelah kenaikan Fed Fund Rate (FFR), sementara pemulihan ekonomi global diperkirakan masih terbatas.
Kenaikan FFR pada 17 Desember 2015 yang telah diantisipasi pasar serta pernyataan the Fed bahwa normalisasi akan dilakukan secara gradual dan terbatas tidak menimbulkan gejolak di pasar keuangan global.
Sementara itu, harga komoditas global masih terus menurun, termasuk harga minyak dunia. Perbaikan ekonomi AS masih tertahan, sejalan dengan masih lemahnya indikator penjualan eceran dan personal expenditure, serta masih terkontraksinya sektor manufaktur.
Pemulihan ekonomi Eropa terus berlanjut didorong oleh perbaikan permintaan domestik, meskipun belum mampu meningkatkan inflasi yang masih rendah. Ekonomi Jepang diperkirakan masih lemah seiring dengan konsumsi yang melemah.
Di sisi lain, perekonomian Tiongkok diperkirakan masih melambat, di tengah berbagai upaya stimulus, baik melalui kebijakan moneter dan fiskal, serta reformasi di sisi penawaran.
Reaksi pasar terhadap perlambatan ekonomi dan konsistensi dalam upaya liberalisasi pasar keuangan di Tiongkok menimbulkan tekanan di pasar sahamnya. Ke depan, risiko terkait perlambatan ekonomi Tiongkok dan terus menurunnya harga komoditas global perlu dicermati.