LPS Andalkan Surat Utang Jika Ada Bank yang Kolaps
LPS akan menggelar simulasi penerbitan surat utang di 2016 ini.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terus mempersiapkan diri untuk melakoni tugasnya sebagai salah satu lembaga penyelamat dana nasabah saat bank kolaps.
Kali ini LPS tengah bersiap untuk menggelar simulasi penerbitan surat uang.
Sekretaris LPS Samsu Adi Nugroho mengatakan, penerbitan surat utang merupakan upaya yang ditempuh LPS jika sewaktu-waktu membutuhkan tambahan dana.
Dengankata lain, jika perbankan Indonesia terkena krisis dan LPS tidak memiliki dana cukup untuk menyelamatkan dana nasabah, LPS bakal menerbitkan surat utang.
LPS akan menggelar simulasi penerbitan surat utang di 2016 ini.
Meski simulasi digelar tahun ini, LPS menegaskan bahwa kondisi perbankan Tanah Air dalam keadaan sehat.
LPS menyatakan, simulasi penerbitan utang hanyalah bagian dari proses latihan agar LPS piawai bertindak saat betul-betul menangani bank gagal.
Rencananya, LPS akan melakukan simulasi penerbitan surat utang secara internal. Kemudian, LPS akan mengajak anggota Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) untuk berdiskusi perihal hasil simulasi.
Setidaknya ada dua hal penting yang LPS cermati dalam simulasi. Pertama, proses pemilihan lembaga pemeringkat untuk penerbitan surat utang LPS.
"LPS membutuhkan lembaga rating untuk mengukur kemampuan kami dalam membayar utang," kata Adi, Senin (13/6/2016).
Dua pertimbangan LPS dalam memilih lembaga rating ini yakni perusahaan lokal dan independen.
Kedua, menentukan waktu yang tepat untuk penerbitan surat utang. Asumsi awal, LPS menerbitkan surat utang 6 bulan atau 1 tahun setelah perbankan Indonesia mulai menunjukkan gejala krisis.
Gambaran saja, saat ini LPS memiliki dana atau cadangan penjaminan sebanyak Rp 66 triliun per April 2016.
Jumlah itu hanya 1,5 persen dari total dana pihak ketiga (DPK) perbankan yang mencapai Rp 4.373,0 triliun.
Saat krisis LPS wajib memiliki cadangan penjaminan minimal 2,5% dari total DPK perbankan.
Reporter: Nina Dwiantika