Revisi PP Telekomunikasi Dinilai Tidak Layak
revisi PP tentang penyelenggaraan telekomunikasi tentang frekuensi dan orbit satelit dianggap tidak layak untuk disahkan.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala menilai revisi Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyelenggaraan telekomunikasi (PP 52 tahun 2000) dan PP 53 tahun 2000 tentang frekuensi dan orbit satelit dianggap tidak layak untuk disahkan.
Hal itu, kata Kamilov, bisa dilihat dari pernyataan Menkominfo Rudiantara tentang proses penyerapan aspirasi publik dalam menyusun revisi kedua PP itu yang mengambang.
“Ketidaktahuan Menkominfo tentang tidak terlibatnya Telkom Group dalam penyusunan revisi kedua PP tersebut semakin menegaskan ada agenda tersembunyi. Bagi saya ini sudah cacat moral dan tak layak disahkan oleh Presiden,” ujarnya, Jumat (1/7/2016).
Menurutnya, tak dilibatkannya BUMN telekomunikasi itu dalam revisi kedua aturan yang akan mengubah wajah bisnis sektor telekomunikasi terdapat tanda tanya.
"Tahun lalu nilai bisnis sektor telekomunikasi sekitar Rp 170 triliun. Telkom Group itu menguasai nyaris 50 persen pangsa pasar. Kok tidak dilibatkan. Ini ada apa?" tanyanya.
Dari berbagai data yang dihimpunnya, revisi aturan tentang frekuensi memang akan membuka model bisnis berbagi jaringan. Bahkan ia melihat ada pasal yang tidak secara langsung memaksa operator untuk berbagi infrastruktur.
"Kabarnya ada pasal yang berbunyi jika ada operator terkendala untuk membangun di suatu daerah, pemain existing wajib membagi jaringannya dengan operator yang terkendala tersebut," katanya.
Menurutnya, jika proses penyusunan revisi kedua PP yang tidak transparan itu berlanjut, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus melakukan investigasi ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengingat ada potensi pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang hilang karena revisi aturan.
Diungkapkannya, jika mengacu Undang-undang No 36 tentang Telekomunikasi, tata cara penyelenggaraan jaringan membutuhkan izin yang diatur dengan keputusan menteri.
Nah, jika penggunaan frekuensi diserahkan pada business to business, (B2B), maka ada potensi kerugian.
Pasal 30 dari PP No 53/2000 menyatakan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi bagi penggunaan bersama pita frekuensi dibebankan secara penuh kepada masing-masing pengguna. Masalahnya, lanjut dia, muncul jika kemudian frekuensi ini digunakan bersama.
"Kalau network sharing ada operator A numpang ke B di suatu tempat dan sebaliknya di tempat lain. Blok frekuensi yang digunakan bisa menjadi milik A ditambah B, sehingga blok yang digunakan lebih besar, sementara biaya hak penggunaan (BHP) tetap," ungkapnya. (Hendra Gunawan)