Apersi Minta DP Rumah Dihapus
Menghapus DP dinilai sebagai kebijakan yang lebih tepat dan efektif untuk membantu calon pembeli rumah pertama
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masalah utama calon pembeli atau konsumen rumah pertama adalah tingginya uang muka atau down payment (DP) yang harus dibayarkan pada awal transaksi.
Mereka yang belum memiliki rumah biasanya terindikasi tidak memiliki tabungan atau savings yang cukup, jadi bila Bank Indonesia (BI) merencanakan menaikkan loan to value (LTV) menjadi 80-85 persen akan sangat membantu.
Kendati demikian, di tengah situasi ekonomi yang sulit seperti sekarang ini langkah BI tersebut seharusnya lebih dari sekadar menaikkan LTV atau dengan kata lain menurunkan DP.
Menghapus DP dinilai sebagai kebijakan yang lebih tepat dan efektif untuk membantu calon pembeli rumah pertama, sekaligus menggairahkan kembali bisnis dan industri properti Tanah Air.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo mengutarakan hal tersebut kepada Kompas.com, Jumat (15/7/2016).
Dia membenarkan selama ini ketentuan DP pada awal transaksi rumah sangat menyulitkan konsumen. Terlebih dalam kondisi sekarang saat ekonomi melambat dan daya beli turun.
"Karena itu, sebaiknya DP rumah dihapus saja. Dan risiko kredit diserahkan sepenuhnya kepada perbankan penyalur kredit pemilikan rumah (KPR)," ujar Eddy kepada Kompas.com, Jumat (15/7/2016).
Perbankan penyalur KPR, kata Eddy, tentu saja akan melakukan seleksi dengan teliti dan menerapkan prinsip kehati-hatian terhadap kemampuan calon konsumen dalam mencicil angsuran rumah.
Hal senada dikatakan Direktur Utama PT Ciputra Surya Tbk Harun Hajadi. Menurut dia, lebih baik, risiko kebijakan LTV diserahkan ke perbankan penyalur KPR saja.
Merekalah yang nantinya melakukan penilaian sendiri terhadap aplikasi KPR dan rekam jejak nasabahnya.
BI tak perlu menelurkan blanket policy yang menyulitkan. Sekarang ini perbankan, terutama swasta nasional, sudah sangat hati-hati dengan menerapkan prinsip kehati-hatian yang sangat ketat.
Seperti Bank BCA yang sejatinya sudah siap dengan segala pemetaan risikonya (risk map). Terlebih, jika di daerah tertentu harga propertinya sudah naik tinggi sekali, Bank BCA punya alert sendiri.
Mereka akan secara otomatis menolak meluluskan aplikasi KPR nasabah di daerah tersebut. Mereka tidak lagi jor-joran secara buta menyalurkan KPR.
"Jika ada tanda-tanda kredit macet atau non performing loan (NPL) naik sedikit saja, mereka langsung mengerem sendiri," sebut Harun.
Jadi, kata dia, BI jangan lagi melakukan pembatasan-pembatasan yang tidak perlu. Jika batasan LTV mau diaplikasikan ke pembelian rumah kedua dan seterusnya, dinilai jauh lebih tepat karena pesan BI untuk melokalisasi spekulasi di pasar properti akan sangat efektif.
Sebaliknya, jika membatasi pembelian rumah pertama sangat sulit dimengerti, karena kenyataannya NPL rumah pertama sangat rendah jika dibandingkan dengan NPL rumah kedua, ketiga, dan seterusnya.
"Penyaluran KPR sangat tergantung pada cost of fund mereka, juga funding jangka panjang atau pendek, NPL, likuiditas, dan lain-lain," pungkas Harun.(Hilda B Alexander)