Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Interkoneksi : Pola Perhitungan Simetris Timbulkan Persaingan Tidak Sehat

Kalau syarat itu belum terpenuhi, kebijakan penetapan biaya interkoneksi secara simetris akan menyebabkan blunder

Penulis: Hendra Gunawan
zoom-in Interkoneksi : Pola Perhitungan Simetris Timbulkan Persaingan Tidak Sehat
TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
Ilustrasi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi dan Bisnis UGM Dr. Fahmy Radhi, MBA mengatakan, langkah penetapan pola biaya interkoneksi secara simetris yang besarannya sama untuk semua operator sangatlah tidak tepat.

Secara teori, penetapan biaya interkoneksi secara simestris akan mencapai efisiensi di pasar, hanya jika syarat coverage jaringan sudah menjangkau seluruh wilayah di suatu negara dan mencapai keseimbangan jaringan antar operator.

Pemerintah mengeluarkan Surat Edaran mengenai Implementasi Biaya Interkoneksi tahun 2016. Surat edaran No 1153/M.KOMINFO/PI.0204/08/2016 yang ditandatangani Plt. Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Geryantika Kurnia memastikan biaya interkoneksi diturunkan dari Rp 250/menit menjadi Rp 204/menit, serta penerapan perhitungan pola simetris atau tidak berbasis biaya penggelaran jaringan yang telah diinvestasikan oleh masing-masing operator.

Kalau syarat itu belum terpenuhi, kebijakan penetapan biaya interkoneksi secara simetris akan menyebabkan “blunder” bagi industri Telekomunikasi.

"Tidak hanya menghambat pembangunan jaringan, tetapi juga menciptakan persaingan tidak sehat, sehingga tidak sesuai dengan tujuan Pemerintah dalam menetapkan biaya interkoneksi," ujarnya dalam keterangan persnya, Selasa (9/8/2016).

Di Indonesia coverage gap antar operator telekomunikasi masih sangat tajam. Data menunjukan bahwa total BTS yang sudah dioperasikan oleh operator telekomunikasi di Indonesia baru sebanyak 249 ribu BTS, di antaranya dimiliki Telkomsel sekitar 46,6 %, XL 23,7 %, Indosat 21,3 %, dan Smart 6,02 %.

Dalam kondisi adanya coverage gap yang masih tajam ini, Indonesia mestinya menerapkan kebijakan asimetris, yaitu penetapan biaya yang besarannya berbeda di antara operator. Kalau kebijakan simestris dipaksakan dikawatirkan akan menimbulkan dampak buruk bagi perkembangan industri Telekomunikasi di Indonesia.

BERITA TERKAIT

Selanjutnya keputusan penentuan perhitungan biaya interkoneksi pola simetris yang digunakan Kominfo tersebut sangatlah tidak bijak.

Pasalnya sampai saat ini biaya interkoneksi yang berlaku di Indonesia sebesar Rp 250 permenit merupakan salah satu biaya interkoneksi termurah dibandingkan negara lain apalagi sekarang telah diturunkan menjadi Rp 204 per menit.

Contohnya saja di Jepang dan Philipina yang kondisi geografisnya tak jauh berbeda dengan Indonesia. Jepang memberlakukan biaya interkoneksi berkisar Rp. 1.447 hingga Rp. 2.108 permenit. Sedangkan untuk Philipina menetapkan Rp. 1.184 permenit.

“Berdasarkan perbandingan harga tersebut, adakah urgensi bagi Pemerintah untuk menurunkan biaya interkoneksi di Indonesia?”tanya Fahmy.

Fahmi mencium gelagat penurunan biaya interkoneksi tersebut justru berpotensi menciptakan persaingan tidak sehat dan menghambat pertumbuhan pembangunan jaringan telekomunikasi di Indonesia.

Selain coverage gap pembangunan jaringan telekomunikasi yang tak merata, harga yang ditetapkan pemerintah di bawah harga pokok penjualan (HPP) para operator telekomunikasi. Tentu saja langkah pemerintah ini akan merugikan para operator penyelenggara jaringan telekomunikasi, pungkas Fahmi menutup pembicaraan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas