Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Penurunan Biaya Interkoneksi Harus Memenuhi Asas Keadilan

Penetapan biaya interkoneksi harus berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil.

Penulis: Hendra Gunawan
zoom-in Penurunan Biaya Interkoneksi Harus Memenuhi Asas Keadilan
Harian Warta Kota/henry lopulalan
Ilustrasi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dalam penetapkan biaya interkoneksi, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) seharusnya memenuhi asas keadilan.

Kemkominfo seharusnya mengakomodasi kepentingan seluruh stakeholders industri telekomunikasi, terutama yang berkaitan dengan komitmen operator saat mengajukan izin investasi, yakni pembangunan jaringan (modern licencing) di seluruh Tanah Air.

Demikian pendapat Ketua Program Studi Telekomunikasi di Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Joeseph Matheus Edward menanggapi silang pendapat tentang keputusan Kemkominfo mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang menurunkan biaya interkoneksi untuk panggilan lokal seluler dari sekitar Rp 250 menjadi Rp 204 per menit.

Menurut Ian, dengan keluarnya Surat Edaran No. 1153/M.Kominfo/PI.0204.08/ 2016 itu, Kemkominfo telah menabrak prosedur yang ada, khususnya dalam PP 52 tahun 2000 pasal 23.

Pasal itu menyatakan, penetapan biaya interkoneksi harus berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil.

Artinya, penetapan biaya interkoneksi harus transaparan dan menggunakan perhitungan berbasis biaya (cost base) yang harus disepakati bersama oleh seluruh operator, tanpa terkecuali.

“Jika kita mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No 52 tahun 2000 yang mengatakan biaya interkoneksi harus disepakati bersama. Itu berarti, semua operator harus setuju. Jika ada salah satu operator yang tidak setuju, maka aturan tersebut harus batal demi hukum,” kata Ian, Selasa (16/8/2016).

BERITA TERKAIT

Selain itu, lanjut Ian, dalam penetapan biaya interkoneksi, pemerintah seharusnya memasukkan biaya pembangunan (capital expenditure/capex), unsur risiko, quality of service dan biaya operasional. Karena, sejatinya, penetapan biaya interkoneksi itu adalah demi keberlanjutan pembangunan jaringan dan menjaga kualitas layanan telekomunikasi di seluruh Nusantara.

“Kalau semua itu terpenuhi, pemerintah dan masyarakat juga akan menikmati hasil dari kondisi level of playing field yang sama. Yakni, terpenuhinya pemerataan pembangunan jaringan yang ujungnya adalah semua masyarakat menikmati layanan telekomunikasi yang lebih baik,” ujar Ian.

Fahmy Radhi, pengamat ekonomi dan bisnis dari Universitas Gajah Mada (UGM) menambahkan, biaya interkoneksi sejatinya hanya cost recovery, yang pada praktiknya digunakan operator untuk bisa terus membangun jaringan dem menjaga kualitas layanannya.

Jika cost recovery itu dibayarkan tidak sesuai dengan biaya yang sebenarnya, lanjut Fahmi, otomatis kemampuan operator tersebut untuk membangun dan menjaga kualitas layanannya akan berkurang. "Artinya pelanggan juga yang akan dirugikan," ujar Fahmi.

Oleh karena itu, lanjut Fahmi, penurunan biaya interkoneksi harus mengacu pada hakikat biaya interkoneksi yang berbasis biaya, yakni biaya yang dikeluarkan operator untuk membangun dan menjaga kualitas layanannya. Namun, elastisitas penurunan harga ditentukan oleh masing-masing perusahaan telekomunikasi, mengingat pembangunan infrastruktur jaringan memang membutuhkan biaya yang besar.

Fahmi juga sependapat dengan Ibrahim Kholilul Rohman, doktor ICT asal Indonesia lulusan Swedia, yang menyatakan, biaya interkoneksi seharusnya memang diregulasi (diatur oleh pemerintah). Namun, regulasi itu seharusnya berlaku adil bagi semua, terutama operator telekomunikasi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas