Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Tergerus Taksi Daring, 50 Persen Taksi Reguler Tak Lagi Beroperasi

Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta menuntut kepada pemerintah agar menutup aplikasi taksi berbasis aplikasi bagi yang melanggar.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Tergerus Taksi Daring, 50 Persen Taksi Reguler Tak Lagi Beroperasi
Warta Kota/Mohamad Yusuf
Petugas tampak sedang memberi pengarahan kepada sopir taksi online yang sedang mengantre di PKB Pulogadung, Jakarta Timur, Selasa (2/8/2015). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta menuntut kepada pemerintah agar menutup aplikasi taksi berbasis aplikasi bagi yang melanggar.

Pasalnya, saat ini sudah sebanyak 50 persen dari 27.000 taksi reguler di Jakarta yang tak lagi beroperasi.

Maurit Siburian, Ketua Unit Taksi DPD Organda DKI Jakarta, mengatakan, Organda akan menuntut kepada pemerintah agar memperlakukan sama antara taksi daring dan taksi reguler.

“Memang penertiban sudah dilakukan. Tapi seberapa sering? Masih banyak taksi daring ilegal yang masih beroperasi. Padahal sudah ada aturannya, tapi sepenuhnya tidak mematuhi,” kata Maurit, usai Musyawarah Kerja Unit (Mukernit) Taksi II Tahun 2016 Organda DKI Jakarta, Kamis (18/8).

Menurut Maurit, Organda meminta kesetaraan bisnis dalam pengoperasian taksi berbasis aplikasi.

Pasalnya, dampak dengan adanya taksi daring, banyak taksi-taksi reguler yang mulai stop beroperasi.

“Pendapatan mereka menurun, terpaksa semua berhenti beroperasi. Akibatnya banyak pengangguran,” kata Maurit.

Berita Rekomendasi

Maurit mengatakan, banyak sopir taksi daring yang hanya bekerja sampingan. Sementara sopir taksi reguler yang merupakan pekerjaan utama, kini semakin kesulitan mencari penumpang.

“Kami tidak anti taksi daring, tapi sekarang kenyataannya, jumlah taksi reguler ditambah taksi daring semakin banyak yang beroperasi. Sementara jumlah penumpangnya tidak bertambah. Sedangkan, sopir taksi daring hanya bekerja sambilan saja. Akibatnya, banyak sopir yang benar-benar sopir taksi, akhirnya menganggur,” kata Maurit.

Hal senada dikatakan oleh Shafruhan Sinungan, Ketua Organda DKI Jakarta, bahwa adanya taksi berbasis aplikasi, perusahaan taksi di Jakarta ambruk. Banyak perusahaan taksi yang tutup.

“Kami minta regulasinya dijalankan dulu. Kalau enggak lakukan kir, taksi daring tidak diperbolehkan operasi dulu. Blokir dulu aplikasinya. Kalau terbukti tiga kali melanggar, aplikasinya langsung ditutup!” kata Shafruhan.

Apalagi, saat ini taksi daring yang beredar juga tidak dikenakan pajak. Padahal potensi pajaknya cukup besar.

“Katakanlah mereka sehari bisa mendapatkan Rp 500.000. Jika pajaknya 10 persen maka dikenakan Rp 50.000. Dikalikan saja 10.000 taksi daring yang beroperasi dalam satu hari. Cukup besar kan?” kata Shafruhan.

Karena itu, untuk menghadapi serbuan taksi daring, Organda berkoordinasi dengan operator taksi agar pelayannya meningkat. Termasuk dengan meluncurkan layanan aplikasi MyTrip untuk pemesanan taksi daring melalui taksi reguler.

“Kami juga minta Kementerian Perhubungan bahkan Presiden, agar regulasi yang telah ditetapkan benar-benar diterapkan. Jangan sampai ada taksi daring ilegal yang masih beroperasi. Ini tidak fair!” kata Shafruhan.

Nontunai

Sementara itu, Andri Yansyah, Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) DKI Jakarta, mengatakan, Dishubtrans akan meminta pertemuan dengan pihak terkait untuk membahas regulasi taksi daring.

“Kami akan duduk bareng dengan Kemhub, Kominfo, Kemdagri, Kemkeu, Kementerian Koperasi untuk membahas ini. Agar nantinya, regulasi bisa dijalankan sesuai dengan pembahasan,” kata Andri.

Selain itu, Dishubtrans juga akan meminta taksi daring agar seluruh transaksi dilakukan secara non tunai. Agar nantinya perputaran uang bisa terdata.

“Pajaknya nanti kalau pakai non tunai juga akan langsung dipotong. Jadi pajaknya bisa terdata dengan akurat,” kata Andri.

Uji kir

Sementara itu, Agus Nugroho (55), pengemudi taksi daring, mengatakan, dengan melakukan uji kir ingin mengikuti aturan yang telah ditetapkan.

“Regulasinya seperti itu, ya ikut saja. Ini mata pencaharian kami juga,” kata Agus beberapa waktu lalu.

Menurut Agus, ia tidak mempermasalahkan adanya uji kir. Termasuk penempelan stiker dan balik nama pada STNK.

“Saya per bulan bisa dapat Rp 14 juta, dipotong cicilan Rp 3,1 juta. Sisanya masih sangat cukup untuk keluarga. Jadi kalau memang benar-benar ini menjadi pekerjaan, sebenarnya enggak ada masalah untuk mentaati aturan itu semua,” kata bapak dua anak tersebut. (Mohamad Yusuf)

Sumber: Warta Kota
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas