Praktik Kartel Ayam Diduga karena Kebijakan Afkir Dini Indukan
"Jadi jelas di sini kesepakaannya bukan atas dasar free will, tapi paksaan, sehingga kesepakatan apkir dini, jikapun ada, tidak bisa disebut kartel”
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian terkait pengapkiran 6 juta ekor indukan ayam atau Parent Stock (PS) kepada 12 perusahaan pembibitan unggas (breeder) dinilai pemicu mencuatnya dugaan praktik kartel ayam.
Mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Sutrisno Iwantono mengatakan kesepakatan untuk melakukan afkir dini parent stock oleh 12 perusahaan pembibitan unggas tidak termasuk kesepakatan kartel.
Menurutnya, kalaupun ada perjanjian yang ditandatangani oleh para perusahaan tersebut, sebatas hanya sebagai kepatuhan perusahaan terhadap kebijakan pemerintah, bukan kategori kesepakatan yang bisa menyebabkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 UU 5/1999.
Menurut Iwantono, sebuah kesepakatan kartel harus dilandasi kehendak bebas (free will) dari masing-masing pihak untuk melakukan perjanjian.
Sementara dalam apkir dini, kata Iwantono, terlihat pada dasarnya tidak ada free will, namun keterpaksaan pihak swasta untuk menjalankan kebijakan pemerintah dan jika tidak dilaksanakan maka dikenakan sanksi.
"Jadi jelas di sini kesepakaannya bukan atas dasar free will, tapi paksaan, sehingga kesepakatan apkir dini, jikapun ada, tidak bisa disebut kartel,” ujat Iwantono, Jakarta, Rabu (28/9/2016).
Dia melanjutkan, secara konsep, kartel bisa terdiri dari beberapa jenis, yaitu private cartel atau kartel yang dilakukan atas kehendak pelaku usaha dalam rangka mencari keuntungan yang eksesif (sangat besar).
Kemudian, public cartel atau kartel yang disponsori oleh pemerintah dan ada juga crisis cartel, yaitu kesepakatan kartel untuk mengatasi situasi krisis.
"Misalnya, kalau kesepakatan tidak dilakukan, maka petani-petani atau peternak akan mati. Di negara-negara maju, kartel yang seperti ini diperbolehkan, yang dilarang adalah kartel dalam rangka mencari keuntungan yang eksesif, sementara dalam apkir dini, pelaku usaha justru mengaku rugi karena harus memotong ayam yang masih produktif," paparnya.
Iwantono menjelaskan, sebagaimana UU 5/1999, KPPU memiliki dua kewenangan. Pertama, terkait dengan proses hukum, yaitu menjatuhkan hukuman kepada pelaku usaha yang terbukti melakukan persaingan usaha tidak sehat. Kedua, memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam sebuah kebijakan.
“Dalam perkara afkir dini, seharusnya KPPU menggunakan kewenangannya yang kedua, yaitu memberikan saran dan rekomendasi ke pemerintah. Jangan kemudian kesalahan kebijakan pemerintah dibebankan kepada swasta atau pelaku usaha,” tandasnya.