Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Polemik Tarif Interkoneksi dan Network Sharing Hambat Perekonomian Nasional

Setidaknya dibutuhkan US$ 12 miliar per tahun untuk meningkatkan kemampuan digital Indonesia secara nasional

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Polemik Tarif Interkoneksi dan Network Sharing Hambat Perekonomian Nasional
Salah satu BTS 3 G 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah disarankan mempercepat revisi PP No.52/53 dalam rangka efisiensi industri telekomunikasi dan untuk keadilan masyarakat di seluruh Indonesia.

Ini diperlukan untuk memberikan kepastian bagi industri telekomunikasi ditengah pesatnya perkembangan teknologi informasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital Indonesia dan perekonomian nasional.

Demikian hasil diskusi yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) di Hotel Intercontinental, Jakarta, Kamis (3/11/2016).

Seminar ini dihadiri Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara sebagai keynote speaker, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Achmad M. Ramli, Ketua INDEF Eni Sri Hartati, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, pakar telekomunikasi Nonot Harsono, Ketua YLKI Tulus Abadi, dan Anggota Komisioner KKPU Prof Tresna Priyatna.

Seminar yang bertemakan “Mendorong Efisiensi Berkeadilan Industri Telekomunikasi Nasional” diselenggarakan oleh INDEF sebagai forum diskusi yang transparan guna memberikan masukan dan pandangan stakeholder kepada Pemerintah dalam rangka penataan regulasi di sektor telekomunikasi yang mampu mendorong perekonomian nasional.

Rudiantara menjelaskan potensi ekonomi digital Indonesia diprediksi mencapai US$130 miliar pada tahun 2030, akan tetapi masih banyak tantangan yang harus diselesaikan untuk merealisasi ekonomi digital Indonesia yang berkualitas dan berkeadilan.

"Bahkan dalam rapat di Istana kemarin, Menkeu Sri Mulyani meminta target pertumbuhan yang tinggi dari sektor saya (Kemenkominfo) pada 2018, setelah sektor keuangan dan perbankan," kata Rudiantara.

Berita Rekomendasi

Saat ini, jelas Menkominfo, backbone, broadband dan kapasitas jaringan Indonesia masih tertinggal jauh dari negara lain.

Setidaknya dibutuhkan US$ 12 miliar per tahun untuk meningkatkan kemampuan digital Indonesia secara nasional.

Apabila kemampuan keuangan seluruh operator telekomunikasi di Indonesia digabungkan pun tetap tak akan mampu menutup biaya tersebut. Masih ada gap sebesar US$ 9 miliar.

Padahal, pertumbuhan industri telekomunikasi nasional ditargetkan harus mencapai double digit pada 2018, sesuai arahan dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kominfo Prof. Dr. Ahmad Ramly, telah merumuskan empat poin untuk mencapai pertumbuhan yang ditargetkan tersebut dengan cara yang paling solutif dan efisien, yakni konvergensi, interkoneksi, network sharing, dan akses layanan publik dan layanan prima serta menjadi solusi yang paling cepat dan efektif.

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio mengatakan pemerintah sebaiknya segera mengesahkan revisi PP no. 52/53 untuk mengakhiri polemik sehingga masyarakat cepat mendapatkan manfaat dan menjadi katalisator untuk perkembangan ekonomi digital Indonesia.

“Ekonomi kita tidak akan jalan ke mana-mana jika hal ini terus dipolemikkan. Apalagi soal interkoneksi, dalam beberapa tahun ke depan akan hilang karena semua tren akan beralih ke data, apalagi bila Palapa Ring sudah tersambung,” katanya.

Agus menambahkan network sharing itu membangun bersama-sama secara gotong royong sehingga jaringan broadband bisa direalisasikan lebih cepat dengan biaya yang lebih efisien.

Menurut Agus, tidak perlu membawa isu nasionalisme tetkait revisi PP 52/53.

“Ini bukan masalah operator merah-putih lawan operator asing, karena semua operator besar di Indonesia ada pemegang saham asingnya semua,” ujar Agus.

Agus minta kebijakan interkoneksi yang baru dan revisi PP diselesaikan minggu depan di Kementerian Koordinator Perekonomian lalu segera ke Presiden untuk disahkan kemudian diimplementasikan.

Menurut pakar telekomunikasi, Nonot Harsono, banyak disebarkan opini yang keliru yang menghambat revisi PP ini.

“Opini keliru yang pertama itu adalah RAN sharing diinfokan numpang BTS, yang benar ini dibangun secara gotong royong. Backbone sharing dibilang penumpang gelap. Padahal tetap bayar sewa, utilitas naik dan revenue pemilik backbone meningkat,” ujarnya.

Prof. Dr. Ir. Tresna Priyatna, Anggota Komisioner Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan bahwa konsep active infrastructure sharing adalah positif dalam konteks persaingan karena menghilangkan potensi penyalahgunaan posisi dominan kepemilikan infrastuktur oleh operator besar.

“Keterbukaan infrastructure, network, dan interkoneksi memungkinkan pemain baru yang kompeten untuk masuk ke pasar dengan cepat. Selain itu, peningkatan pelayanan yang lebih terjangkau, berkualitas, dan cepat dapat diwujudkan. Semuanya demi mendukung kesejahteraan,” jelas Prof. Tresna.

Lebih lanjut, dia menambahkan, “Competition checklist beberapa Peraturan Presiden (Perpres) antara Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) dan Kemenkominfo akan segera keluar. Tujuannya agar setiap regulasi terawasi dan fair sebagai tindakan preventif sesuai persaingan sehat.”

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas