Akademisi Kritik Kebijakan Perlindungan Gambut
sebagian kebijakan tentang perlindungan gambut dinilai belum mengakomodasi usulan dari kalangan akademisi.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagian kebijakan yang tertuang dalam PP No 57 tahun 2016 tentang perlindungan gambut sebagai pengganti PP No. 71 tahun 2014 dinilai belum mengakomodasi usulan dari kalangan akademisi.
Salah satu revisi yang telah diusulkan kalangan akademisi sejak lama terkait ketinggian muka air 0,4 meter yang berpotensi mematikan budidaya komoditas unggulan seperti sawit dan akasia.
Sebagai solusi, kalangan akademisi menyarankan agar ketinggian muka air 0,4 meter direvisi menjadi rentang misalnya pada 0,6 meter-0,8 meter.
Solusi lain adalah perlunya ditetapkan kriteria baku kerusakan gambut sebagai pengganti tinggi muka air.
Demikian pendapat yang mengemuka dari pakar gambut IPB Basuki Sumawinata, Ketua Umum Perkumpulan Masyarakat Gambut Indonesia Supiandi Sabiham dan Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Chairil A Siregar secara terpisah, di Jakarta, Senin (5/12).
Pakar Gambut IPB Basuki Sumawinata, mengatakan, pemerintah seharusnya merevisi penetapan batas muka air gambut paling rendah 0,4 m dari permukaan gambut.
Ketentuan itu tidak tepat karena kerusakan gambut tak bisa hanya sekadar diukur dari tinggi rendahnya muka air.
Menurutnya, sebaiknya muka air dipertahankan pada ketinggian 0,6 meter-0,8 meter untuk memperlambat subsidensi. Apalagi, saat ini banyak kawasan gambut telah beralih fungsi menjadi permukiman dan perkotaan.
Padahal, jika mengacu ketentuan tersebut, sekitar 30 persen dari kawasan hidrologis gambut langsung ditetapkan sebagai fungsi lindung, yang terlarang untuk kegiatan budidaya.
Menurut Basuki, kriteria baku ke gambut juga bisa dipakai sebagai pengganti tinggi muka air. Gambut dikatakan rusak atau hidrofobik jika tidak lagi memiliki kemampuan untuk menyimpan air. Kriteria ini dilengkapi nilai rerata kadar air kritis terjadinya hidrofobisitas.
“Jadi ada batasan yang jelas soal gambut rusak. Batasan muka air 0,4 m tidak relevan dipakai sebagai aturan untuk menjaga gambut dari kerusakan,” kata Basuki, Selasa (6/12).
Sementara itu, Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Chairil A Siregar menambahkan, pemerintah tidak membuat kebijakan restorasi yang emosional dalam pemanfaatan gambut untuk kepentingan budidaya.
Pertimbangannya adalah populasi pertambahan penduduk yang naik satu persen setiap tahun atau sekitar dua juta jiwa.
Menurutnya, pertambahan penduduk yang cepat memerlukan ketersediaan lahan dan pangan yang cukup. "Karena itu, pemerintah harus bersikap realistis terhadap budidaya di lahan gambut karena membuka lapangan pekerjaan baru dan menyejahterakan masyarakat,” kata Chairil.
Deputi bidang Perencanaan dan Kerja Sama Badan Restorasi Gambut (BRG) Budi Wardhana menyatakan batas muka air 0,4 meter masih bisa direvisi jika usulannya melibatkan kelompok akademi yang dilatarbelakangi dengan penelitian ilmiah.
“Revisi dimungkinkan dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan data serta informasi yang dimiliki termasuk subjek hukumnya. Pemerintah sangat terbuka dengan usulan itu," kata Budi.(Noverius Laoli)