METI Ingin Harga Listrik EBT Dikaji Kembali
METI kembali mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan mengenai harga listrik dari energi terbarukan
Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) kembali mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan mengenai harga listrik dari energi terbarukan. Kebijakan baru ini dinilai kontra produktif dengan pengembangan energi terbarukan.
Menurut Ketua Umum METI, Surya Darma, pemerintah harus menetapkan kebijakan yang bersifat jangka panjang dan dapat memberikan kepastian bagi investor atau pengembang energi terbarukan.
Apalagi, pengembangan energi terbarukan butuh waktu panjang. Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) memerlukan waktu 6 tahun, sedangkan pengembangan panasbumi memerlukan waktu 7-9 tahun mulai dari fase eksplorasi hingga mulai beroperasi
“Pemerintah harus menetapkan kebijakan yang bersifat jangka panjang yang dapat memberikan kepastian bagi pengembang,” ujar Surya Darma, Senin (17/4/2017).
Terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik dinilai sebagai kebijakan yang bisa menghambat pengembangan energi terbarukan.
Alasannya, penerapan tarif maksimal 85 persen dari biaya pokok produksi (BPP) sangat kontraproduktif dengan pengembangan energi terbarukan.
Apalagi, menurut Surya Darma, pembatasan tarif sebesar 85 persen BPP juga pernah diberlakukan terhadap listrik panasbumi. Ketika itu, melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2008 tentang Harga Patokan Penjualan Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi. Namun, aturan ini tidak bisa diterapkan hingga akhirnya diganti dengan kebijakan baru.
Kini, dalam peraturan baru, pemerintah menetapkan patokan harga maksimal untuk listrik bukan hanya dari panasbumi, melainkan juga dari tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas, dan sampah. Kondisi seperti itu membuat para investor prihatin.
Keprihatinan investor karena ketidakjelasan Pemerintah dalam menetapkan pembatasan tersebut. Selain kondisi yang berbeda antara satu daerah dan daerah lain, besaran BPP akan selalu berubah dari waktu ke waktu. Sedangkan, proses pengembangan energi terbarukan tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat.
“Kami sudah mengirimkan surat kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan untuk mengevaluasi Permen No.12/2017,” paparnya.