Pembukaan Rekening Melalui Agen Jasa Keuangan Digital Masih Rendah.
Ekspansi jaringan Agen yang kurang ditambah dengan volume transaksi yang rendah menyebabkan profitabilitas agen menjadi rendah
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Survei Akselerasi Jaringan Keagenan di Indonesia menemukan fakta, terjadi perkembangan pesat dalam jumlah agen, namun jaringan keagenan di Indonesia didominasi oleh beberapa pemain besar seperti BRI (51%) dan Bank BTPN (29%) yang menguasai 80 persen pangsa pasar rekening yang ada.
Transaksi pengiriman uang/transfer di konter (Over-the Counter money transfer atau OTC) dan pembayaran tagihan merupakan produk jangkar dari jasa keuangan digital di Indonesia, sama dengan umumnya pasar di negara-negara Asia seperti Pakistan dan Bangladesh.
Survei dilakukan dengan mewawancarai sampel sebanyak 1.300 agen jasa keuangan digital (Laku Pandai dan LKD) dari 15 provinsi di Indonesia pada bulan Juli – September 2017.
Survei ini didesain untuk memberikan wawasan yang bermanfaat bagi sektor jasa keuangan digital, serta memberikan rekomendasi untuk mengembangkan jaringan keagenan yang berkelanjutan di Indonesia.
Survei menemukan, meski strategi keuangan inklusif nasional Indonesia telah memiliki visi untuk meningkatkan akses orang dewasa ke rekening bank dari 36% (tahun 2014) menjadi 75% (di tahun 2019), namun pembukaan rekening melalui agen jasa keuangan digital masih relative rendah.
Baca: Kartu Debit 60 Bank Sudah Terkoneksi Jaringan Gerbang Pembayaran Nasional
Saat ini hanya 28 persen agen yang menawarkan layanan pembukaan rekening.
Sorotan lain dalam survei ini adalah agen memberikan layanan perbankan lebih ekstensif (67 jam per minggu) dibandingkan dengan kantor cabang bank (35 jam per minggu), namun sebagian besar lokasi agen masih berdekatan dengan cabang bank.
Rata-rata jarak tempuh antara cabang bank dengan lokasi agen sekitar 10 menit, dan sekitar 85% Agen berjarak tempuh kurang lebih 15 menit dari kantor cabang bank terdekat.
Sejalan dengan regulasi yang ada, hasil survei menemukan bahwa Indonesia memiliki agen eksklusif terbesar (97%) dibandingkan dengan negara-negara lain dimana dilakukan Survey sejenis.
Lebih dari sepertiga agen yang diwawancarai (33%) menyampaikan bahwa mereka juga ingin menjadi agen dari bank/provider keuangan digital yang lain, karena sebagian besar agen tidak mengetahui adanya regulasi yang tidak memperbolehkan mereka menjadi agen lebih dari 1 bank/provider.
Sebanyak 96% dari agen di Indonesia adalah agen non-dedikasi (yaitu agen memiliki usaha lain selain sebagai Agen jasa keuangan digital sebagai sumber penghasilannya).
Baca: Genjot Laku Pandai, BTN Gandeng Telkomsel
Dibandingkan dengan Agen yang dedikasi yangmana hanya 38% mampu mencapai break even dalam usahanya, agen-agen yang non dedikasi secara signifikan mampu mendapatkan profit lebih tinggi dari usaha keagenannya.
Rata-rata agen di Indonesia melakukan 4 transaksi per hari, sedangkan agen-agen di daerah Jabodetabek mampu melakukan rata-rata 10 transaksi per hari.
Ekspansi jaringan Agen yang kurang ditambah dengan volume transaksi yang rendah menyebabkan profitabilitas agen menjadi rendah.
Penemuan selama survei, lebih dari seperempat agen di Indonesia (26%) justru mengalami kerugian atau bahkan tidak mampu mencapai break event point dari usahanya.
Meskipun tingkat profitabilitas mereka rendah akibat dari tingkat transaksi yang rendah, mayoritas agen (91%) menyatakan bahwa mereka optimis dan tetap berharap bahwa mereka bisa tetap menjadi agen jasa keuangan digital di masa yang akan datang.
Grace Retnowati, Direktur MicroSave Indonesia menyoroti signifikansi dari survei yang dilakukan oleh Helix ini.
Baca: BNI Tahun Ini Incar 2 Juta Orang Jadi Nasabah Laku Pandai
“Agen adalah tulang punggung dari keuangan inklusif digital sehingga sangat penting untuk membangun dan mendukung jaringan keagenan yang berkelanjutan," katanya di Jakarta, Senin (4/12/2017).
Ia meyakini temuan survei bisa membantu pembuat kebijakan dan para penyedia jasa keuangan digital untuk mengidentifikasi celah/kelemahan yang ada dengan menggunakan bukti yang terukur, sehingga membantu katalisasi jaringan keagenan di Indonesia.
Eko Ariantoro, Direktur Pengembangan Keuangan Inklusif dari Otoritas Jasa Keuangan memberikan apresiasi terhadap survei Akselerasi Jaringan Keagenan yang telah dilakukan oleh Helix – Institut of Digital Finance.
“Ini adalah survei pertama tentang Jaringan Keagenan di Indonesia yang memberikan wawasan terkait bisnis keagenan. Saya berharap perbankan dan pihak lain yang terkait dapat memanfaatkan hasil survei ini semaksimal mungkin untuk mengembangkan bisnis keagenan yang berkelanjutan,” kata Eko.
Jaringan keagenan di Indonesia masih tergolong baru, namun sangat optimistik.
Dengan tantangan geografis yang tersebar secara kepulauan, dalam tiga tahun para penyedia jasa keuangan digital telah melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam membangun jaringan outlet-outlet agen yang ekstensif hampir di seluruh daerah di Indonesia.
Tingkat kepemilikan yang tinggi dari telepon pintar (smartphone) dan literasi digital, ditambah dengan penawaran produk yang beragam serta dorongan terkini untuk mendigitisasi pembayaran bantuan sosial, jaringan keagenan di Indonesia telah menempati peran yang penting dalam meningkatkan inklusif keuangan digital.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.