IPW Kecam Pihak yang Dukung Perpanjangan Kontrak HPH di TPK Koja
Yusuf menyayangkan Serikat Pekerja yang terjebak urusan dukung-mendukung perpanjangan kontrak HPH
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Port Watch (IPW) mengecam pihak yang terang-terangan mendukung perpanjangan kontrak HPH di perusahaan terminal peti kemas Kerja Sama Operasi Terminal Peti Kemas Koja (KSO TPK Koja).
Peneliti IPW, Yusuf Buyung Rahmat, menuding pihak pendukung perpanjangan kontrak HPH tersebut sesat pikir.
“Mereka buta fakta dan sejarah,” ujar Yusuf dalam keterangan persnya, Rabu(28/3/2018).
Yusuf mengungkapkan Pansus Pelindo II DPR-RI sudah memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk membatalkan perpanjangan kontrak HPH di JICT dan TPK Koja karena terindikasi melanggar UU Nomor 17/2008 dan merugikan keuangan negara.
Ini dipertegas dengan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan terdapat kerugian negara sebesar Rp 1,08 triliun akibat perpanjangan kontrak HPH tersebut.
Menurut Yusuf, perpanjangan kontrak HPH di TPK Koja jauh lebih tidak jelas dibandingkan JICT karena diduga tanpa melalui valuasi sama sekali.
Terminal peti kemas yang volume bongkar muat (throughput) naik secara signifikan itu bahkan dihargai dengan sangat murah.
“Anda bayangkan, ketika HPH membeli saham Humpus Terminal Petikemas (HTP) di KSO TPK Koja tahun 2000 nilainya sebesar US$ 150 juta, tapi di tahun 2014 angkanya turun menjadi sepertiganya atau hanya US$50 juta,” katanya.
Padahal, menurut Yusuf, tahun 2000 throughput KSO TPK Koja masih 494.800 TEUS, sedangkan di tahun 2014 volumenya naik menjadi 872.508 TEUS dan di tahun 2017 mencapai 1 juta TEUS.
Sebagai catatan, Humpuss Terminal Petikemas merupakan pemilik pertama saham KSO TPK Koja bersama-sama dengan Pelindo II saat mulai beroperasi di tahun 1997.
Tahun 2000, saham tersebut dijual HTP kepada Ocean Deep Holding Invesment Ltd (59,6%) dan Ocean East holding Invesment (40,4%) Ltd.
Pada bulan Agustus 2000, Ocean East, Ltd dan Ocean Deep, Ltd berubah menjadi PT Ocean Terminal Petikemas (OTP) yang belakangan diketahui merupakan anggota group HPH.
Yusuf mempertanyakan logika bisnis seperti apa ketika kinerja terminal naik lebih dari 100% tapi kemudian dijual dengan harga yang sangat murah.
Penelitian IPW menyebutkan investasi HPH di KSO TPK Koja sudah mencapai titik impas/break event point (BEP) di tahun 2008, dengan perhitungan tarif serta volume bongkar muat yang terus meningkat tersebut dari tahun 2000 hingga 2017 lalu.
Berdasarkan perhitungan tersebut, dari tahun 2009 sampai 2018 saat berakhirnya konsesi, HPH hanya tinggal menangguk laba belaka.
Keuntungan akan makin bertambah ketika Pelindo II memperpanjang kontrak HPH di TPK Koja hingga tahun 2038.
“IPW bahkan menghitung dana up front fee yang dibayarkan HPH tahun 2014 kepada Pelindo II sudah bisa kembali 100% di tahun 2021,” papar Yusuf.
Menurut Yusuf, keuntungan HPH akan bertambah besar karena mengutip data Pansus Pelindo II DPR-RI, HPH tidak melakukan investasi apa pun selain dari pembayaran upfront fee senilai US$ 50 juta untuk TPK Koja.
Pembiayaan capex periode 2014-2038 merupakan dana hasil operasi TPK Koja, sehingga bisa dikatakan bahwa TPK Koja mampu membiayai sendiri untuk program pengembangan kapasitas dan layanannya.
Yusuf menyebut pihak-pihak yang mengatasnamakan pekerja dengan mendukung perpanjangan kontrak HPH di KSO TPK Koja tidak paham agenda memperjuangkan kepentingan pekerja yang sesungguhnya.
Menurutnya agenda yang seharusnya diprioritaskan untuk kepentingan pekerja TPK Koja itu dua hal yakni status KSO agar menjadi perusahaan berbadan hukum dan pengakuan masa kerja pegawai TPK Koja setelah kontrak HPH berakhir di tahun 2018.
Yusuf mengingatkan, sejak TPK Koja beroperasi, status KSO ini yang diperjuangkan serikat pekerja agar berubah menjadi perusahaan berbadan hukum PT.
Anehnya, pengurus Serikat Pekerja saat ini justru seolah melupakan agenda tersebut.
Padahal, jika status KSO berganti menjadi PT akan ada pengakuan terhadap masa kerja. Berbeda dengan KSO yang sama sekali bukan badan hukum.
Yusuf menyayangkan Serikat Pekerja yang terjebak urusan dukung-mendukung perpanjangan kontrak HPH tapi berpotensi mengorbankan nasib ratusan pekerja TPK Koja akibat ketidakpastian status badan hukum perusahaan.
“Menjadi pertanyaan kenapa dukungan perpanjangan kontrak HPH yang jelas melanggar undang-undang dan merugikan negara ini justeru dari serikat pekerja di BUMN yang seharusnya ikut bertanggung jawab terhadap penyelamatan aset negara,” sindirnya.
IPW, menurut Yusuf, mendesak aparat hukum menangkap oknum yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam proses perpanjangan kontrak HPH di KSO TPK Koja karena terindikasi melanggar UU dan merugikan keuangan negara.