Dradjad Wibowo: Freeport Belum 'Direbut Kembali'
Negosiasi ini sangat alot dan sudah berjalan sekitar setahun. Perlu kerja keras dari pihak Inalum dan pemerintah.
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Ekonom Senior Indef Dradjad Wibowo mengungkapkan, seandainya pemerintah mengumumkan hasil negosiasi dengan Freeport Indonesia (FI) apa adanya, tentu patut diapersiasi.
Negosiasi ini sangat alot dan sudah berjalan sekitar setahun. Perlu kerja keras dari pihak Inalum dan pemerintah. "Dan saya percaya, bos Inalum Budi Sadikin akan mati-matian mencari deal terbaik bagi Indonesia. Dia dulu seorang bankir yang profesional dan hati-hati," kata Dradjad, Jumat (13/7/2018).
"Sayangnya, pencitraan yang dilakukan oleh oknum pemerintah sangat kelewatan. Sangat membodohi rakyat. Saking berhasilnya, tidak sedikit yang menulis “terima kasih pak Jokowi” tanpa melakukan fact-check. Sampai-sampai seorang mahasiswa Indonesia di Inggris pun melakukan kebodohan yang sama," katanya.
Dradjad menambahkan, dirinya mendukung penuh usaha pemerintah mengambil alih saham mayoritas Freeport Indonesia . Namun, yang ia kritisi adalah pencitraan dan pembodohan rakyat yang kelewatan.
"Mari kita lakukan fact-check. Apa yang sudah disepakati? Jawabnya, lebih pada soal harga. Tiga pihak, yaitu Indonesia (pemerintah dan Inalum), Freeport-McMoRan Inc. (FCX) dan Rio Tinto sepakat pada harga US$ 3.85 miliar, atau sekitar Rp 55 triliun. Ini adalah harga bagi pelepasan hak partisipasi Rio Tinto, plus saham FCX di FI," paparnya.
Rio Tinto katanya lagi, terlibat dalam negosiasi karena melakukan joint venture dengan FCX, hingga 2021 berhak atas 40% dari produksi di atas level tertentu dan 40% dari semua produksi sejak 2022. Gampangnya, lanjut Dradjad, meskip FCX pemilik mayoritas FI, tapi 40% produksinya sudah di-ijon-kan ke Rio Tinto. Jadi selain saham FCX di FI, Indonesia juga harus membeli hak ijon ini.
Apakah Freeport sudah direbut kembali seperti klaim bombastis yang beredar? Belum. Dradjad mengungkap, transaksi ini masih jauh dari tuntas. Kepada media asing seperti Bloomberg dan lainnya, pihak FCX dan Rio Tinto menyebut, masih ada isu-isu besar yang belum disepakati.
Dalam berita Bloomberg, Rio secara resmi menyatakan “Given the terms that remain to be agreed, there is no certainty that a transaction will be completed”. Jadi, masih belum ada kepastian bahwa transaksinya akan tuntas," tuturnya.
Dijelaskan, menurut Freeport dalam berita Bloomberg, isu besar itu adalah: (a) hak jangka panjang FCX di FI hingga tahun 2041, (b) butir-butir yang menjamin FCX tetap memegang kontrol operasional atas FI, meskipun tidak menjadi pemegang saham mayoritas, dan (c) kesepakatan tentang isu lingkungan hidup, termasuk tentang limbah tailing.
"Kemudian, kenapa pada bulan Juli 2018 tercapai kesepakatan harga? Dugaan saya, ini tidak lepas dari fakta bahwa IUPK sementara (Ijin Usaha Pertambangan Khusus) bagi FI habis pada 4 Juli 2018. Melalui revisi SK Nomor 413K/30/MEM/2017, IUPK diperpanjang hingga 31 Juli 2018. Sejak 2017, IUPK ini sudah berkali-kali diperpanjang," kata Dradjad.
Harganya mahal atau tidak? Saya belum bisa menjawabnya sekarang. Tapi yang jelas, sejak lama Rio Tinto pasang harga di US$ 3.5 miliar. Tidak mau nego. Indonesia akhirnya menyerah, terima harga US$ 3.5 miliar, ditambah US$ 350 juta bagi FCX," imbuhnya.
Dradjad melanjutkan. Sebagai perbandingan, pada 1 November 2013 Indonesia “merebut kembali” Inalum dari Jepang. Pihak Jepang, yaitu NAA (Nippon Asahan Aluminium) ngotot dengan harga US$ 626 juta.
Pemerintah ngotot US$ 558 juta. Jadi ada selisih US$ 68 juta. Jepang akhirnya takluk.Mungkin memang lebih mudah mengalahkan Jepang dibandingkan “koalisi” dari AS, Inggris dan Australia. Sebagai catatan, aset Inalum saat ini sekitar Rp 90 triliun.
Dengan kesepakatan harga US$ 3.85 miliar, transaksi ini nilainya setara 61% aset Inalum. "Saya ingatkan, jangan sampai Inalum over-stretched, yang bisa menjadi masalah besar di kemudian hari," tegas Dradjad.
Berdasarkan fakta di atas, jelas bahwa Freeport menurtnya belum “direbut kembali”. Transaksi belum terjadi karena ada isu-isu besar yang belum tuntas.
"Itu pun Indonesia nerimo saja harga yang dipatok oleh Rio Tinto. Jika transaksinya terwujud nanti, Indonesia harus membayar Rp 55 triliun. Tapi, FCX ngotot kontrol operasional tetap mereka yang pegang. Qulil haqqa walau kaana murran," Dradjad menegaskan.