Tekanan Eksternal Diduga Picu Kekhawatiran Pelaku Pasar
Bhima Yudhistira Adhinegara menilai tekanan krisis Turki dan Argentina yang merembet ke negara berkembang menimbulkan kekhawatiran pelaku pasar global
Penulis: Syahrizal Sidik
Editor: Fajar Anjungroso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara menilai tekanan krisis Turki dan Argentina yang merembet ke negara berkembang menimbulkan kekhawatiran para pelaku pasar global.
Hal itu terlihat dari melemahnya nilai tukar Rupiah ke posisi Rp 14.822 per dolar AS pada perdagangan hari ini.
Dengan posisi tersebut, depresiasi kurs Rupiah meningkat menjadi 9,08 persen sejak awal tahun ini.
Kondisi itu, kata Bhima belum lagi diperparah dengan adanya rencana kenaikan suku bunga The Fed pada akhir September ini.
“Akibatnya investor menghindari resiko dengan membeli aset berdenominasi dolar. Indikatornya US Dollar index naik 0,13 persen ke level 95,2. Dolar index merupakan perbandingan kurs dolar AS dengan 6 mata uang lainnya,” kata Bhima, kepada Tribunnews.com, Selasa (4/9/2018).
Baca: Empat Menteri Diminta Siapkan Daftar Barang Ekpsor untuk Tingkatkan Devisa
Kondisi serupa juga terjadi pada laju Indeks Harga Saham Gabungan. Sejak awal tahun, IHSG terkoreksi 6,37 persen. Arus dana keluar (capital outflow) sejak awal tahun mencapai Rp 50,22 triliun.
Sedangkan, dalam sebulan terakhir, arus dana keluar dari pasar modal mencapai Rp 2,62 triliun.
“Yang membuat sentimen IHSG naik turun itu perbaikan rupiah terhadap dolar AS, tapi kan ini di mana mana terjadi juga,” kata Direktur Perdagangan dan Pengaturan BEI Laksono Widodo di Gedung BEI, Sudirman, Jakarta, Selasa (4/8/2018).
Kurs Rupiah, lanjut Laksono masih akan volatil karena dipengaruh faktor eksternal seperti rencana kenaikan suku bunga Amerika dan tekanan krisis yang terjadi di Argentina dan Turki. “Sentimen itu berdampak ke negara berkembang,” ujarnya.
BEI menilai, berdasarkan laporan keuangan perusahaan, perusahaan teratat masih menunjukkan perbaikan. “Indeks hampir di 6.000 itu sebenarnya menjukkan fundamental Indonesia terutama yang berhubungan dengan listed company itu bagus,” ujarnya.