Pemerintah Diminta Menetapkan Kerangka Regulasi Produk Tembakau Alternatif
dia berharap, agar pengaturan tentang produk tembakau alternatif ini juga harus dibedakan dari rokok konvensional.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Pengamat Hukum, Ariyo Bimmo, meminta pemerintah Indonesia menelaah lebih jauh berbagai bukti ilmiah dan studi kasus negara lain yang sukses menggunakan produk tembakau alternatif sebagai strategi penurunan jumlah perokok.
Menurut dia, sebaiknya pemerintah tidak melarang produk tembakau alternatif, melainkan mengatur produk dalam sebuah kerangka regulasi yang tepat, sehingga pemerintah dapat melakukan tindakan pengawasan secara langsung.
“Selama ini, yang masih terlihat adalah keengganan pemerintah untuk mengatur produk tembakau alternatif karena belum memahami betul potensi yang dimiliki produk tersebut,” kata Ariyo dalam keterangan yang diterima, Jumat (30/11/2018).
Dia menjelaskan, dasar peraturan untuk menetapkan kerangka regulasi bagi produk tembakau alternatif, yaitu UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan dalam pasal 116 yang menjelaskan ketentuan mengenai pengamanan zat adiktif diatur oleh peraturan pemerintah.
Kemudian di Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 mengenai zat adiktif tembakau, pasal 5 dijelaskan produk tembakau lainnya diatur dengan peraturan menteri.
"Dari dasar peraturan ini sudah bisa untuk membuat regulasi untuk produk tembakau alternatif,” jelas Ariyo.
Selain itu, dia berharap, agar pengaturan tentang produk tembakau alternatif ini juga harus dibedakan dari rokok konvensional.
Upaya ini dilakukan agar perokok yang memutuskan untuk tetap merokok mendapat dukungan beralih ke produk tembakau yang lebih rendah risiko.
"Maka produk tembakau alternatif harus diatur sesuai dengan tingkat risiko dan profil produk yang dimilikinya,“ kata dia.
Selain itu, kata dia, masyarakat, terutama perokok dewasa, juga memiliki hak untuk mengakses dan mendapatkan informasi yang akurat tentang produk tembakau alternatif ini sehingga masalah kesehatan akibat rokok dapat berkurang.
Regulasi tersebut menurut Ariyo akan lebih bersifat menyeluruh jika dipandankan dengan penetapan tarif cukai yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.146/PMK.010/2017.
"Tidak hanya melalui penetapan biaya cukai yang seharusnya lebih rendah daripada rokok konvensional, pemerintah juga perlu menyusun peraturan produk tembakau alternatif ini yang termasuk aturan produk, penjualan, promosi, iklan, sponsorship, tempat di mana produk tersebut bisa dikonsumsi, serta batasan usia penggunaan produk tersebut,” tambahnya.
Sebelumnya, berdasarkan Laporan Status Global Pengurangan Bahaya Tembakau 2018 (The Global State of Tobacco Harm Reduction/GSTHR) yang bertajuk Tidak Ada Api, Tidak Ada Asap (No Fire, No Smoke) mencatat sebanyak 62 negara telah menerapkan peraturan bagi produk tembakau alternatif.
Peraturan yang diterapkan oleh masing-masing negara tersebut sudah ada yang terfokus, tetapi ada juga yang masih diatur di bawah peraturan pengendalian tembakau. Beberapa negara tersebut ialah Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Kanada, Korea Selatan, dan lainnya.
Laporan yang dipublikasikan per dua tahun tersebut untuk pertama kalinya memetakan ketersediaan dan penggunaan produk nikotin yang lebih rendah risiko atau Safer Nicotine Product (SNP), tanggapan peraturan terhadap SNP, dan potensi kesehatan masyarakat dari pengurangan bahaya tembakau melalui SNP di ranah global, regional, dan nasional.
Berdasarkan proses pemetaan dan studi kasus yang dilakukan, disimpulkan bahwa beberapa negara berhasil menurunkan jumlah perokok melalui pemanfataan SNP atau yang juga dikenal dengan sebutan produk tembakau alternatif.
Laporan ini merekomendasikan bahwa pemerintah sebaiknya menelaah mengenai pemanfaatan produk tembakau alternatif secara lebih jauh dan menggunakan produk tersebut sebagai salah satu upaya untuk menurunkan jumlah perokok.
SNP yang terdiri dari produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar, rokok elektrik atau vape, dan snuss ini menitikberatkan pada pemanfaatan produk tembakau yang mengandung nikotin namun memiliki potensi pengurangan risiko kesehatan yang signifikan daripada rokok konvensional, karena penggunaannya yang tidak melalui proses pembakaran. Dengan tidak adanya proses pembakaran, zat karsinogenik seperti TAR yang dapat memicu timbulnya penyakit berbahaya pada tubuh dapat tereliminasi.
“Banyak perokok yang sejatinya membutuhkan asupan nikotin, namun mendapatkan kerugian (penyakit berbahaya) akibat paparan TAR yang dihasilkan dari proses pembakaran,” tulis laporan tersebut.
Laporan Status Global Pengurangan Bahaya Tembakau 2018 (The Global State of Tobacco Harm Reduction/GSTHR) juga menjelaskan bahwa banyak perokok yang memiliki keinginan untuk berhenti, namun merasa kesulitan karena sudah terlanjur ketergantungan.
“Banyak di antaranya yang berhasil dengan sendirinya dan ada pula yang berhenti dengan bantuan produk kesehatan, namun banyak pula yang gagal,” tulis laporan tersebut.
Oleh karena itu, dengan penggunaan produk tembakau alternatif, berhenti atau mati tidak lagi menjadi pilihan satu-satunya bagi perokok yang tidak bisa berhenti merokok, tetapi produk tembakau alternatif dapat menawarkan cara lain bagi perokok untuk berhenti secara perlahan.
Laporan yang disusun dengan melibatkan puluhan praktisi kesehatan masyarakat dari lintas negara ini mencantumkan fakta-fakta ilmiah serta studi kasus keberhasilan yang dicapai negara lain dalam mengatasi permasalahan rokok dengan kontribusi produk tembakau alternatif.
Di Jepang misalnya, produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar telah membantu menurunkan angka perokok hingga 27 persen dalam periode dua tahun terakhir. Kemudian di Swedia, pengunaan snuss telah berperan dalam mengurangi jumlah penyakit berbahaya terkait rokok, bahkan menjadi yang terendah di Uni Eropa.
Begitu pula di Norwegia, dimana pengunaan snuss telah berhasil menurunkan jumlah perokok hingga 10 persen, yaitu dari 21 persen di tahun 2008 menjadi 11 persen di tahun 2017.
Di Inggris, tercatat penurunan jumlah perokok sebanyak lima persen dalam kurun waktu 2011 sampai 2017 berkat kontribusi rokok elektrik. Perlu dicatat juga bahwa lebih dari 50 persen pengguna rokok elektrik di Inggris adalah mantan perokok.
Berdasarkan laporan GSTHR, Indonesia termasuk sebagai negara yang belum memiliki peraturan terkait produk tembakau alternatif. Padahal, Indonesia termasuk dalam bagian negara yang memiliki jumlah perokok yang tinggi, yaitu di atas 40 persen dengan 65 persen di antaranya adalah pria dewasa.